Rabu 29 May 2019 18:30 WIB

Mengenal Fathu Makkah

Rasulullah sampai di Makkah dengan sikap penuh tawadhu.

Makkah
Foto: ROL/Didi Purwadi
Makkah

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Sepuluh ribu manusia bersenjata menderapkan langkahnya ke arah barat. Mereka tak tahu apa yang sedang mereka tuju. Hanya segelintir orang saja yang sudah paham akan ke mana pasukan raksasa ini diarahkan. Bahkan, orang sepenting Abu Bakar As-Shiddiq ikut dalam rasa penasaran.

Dikutip dari buku Ketika Rasulullah Harus Berperang karangan Prof Ali Muhammad Ash Shallabi, pasukan mini beranggotakan delapan orang yang dikirim terlebih dahulu ke lembah Idham membuat orang-orang semakin bertanya. Pasukan di bawah pimpinan Abu Qatadah ini membuat orang berasumsi bahwa pasukan Muhammad akan menyerang Thaif. Padahal, pasukan itu sengaja diarahkan Muhammad untuk mengecoh kaum Quraisy tentang rencana besar ini. 

Bekal iman kepada Sang Rasul membuat mereka yakin. Mereka tetap saja mengayuhkan langkahnya tanpa banyak tanya. Meski demikian, rencana itu hampir saja bocor. Hathib bin Abu Balta'ah menulis surat untuk dikirimkan ke penduduk Makkah melalui tangan seorang perempuan. Isinya mengabarkan keberangkatan Rasulullah kepada mereka. 

Rasulullah pun mengirim Ali bin Abu Thalib, Zubair dan Al-Miqdad untuk menangkap perempuan itu di Raudhah Khak. Jaraknya 12 mil dari Madinah. Utusan Rasulullah itu pun mengancam akan memeriksa perempuan itu jika tidak menyerahkan surat tersebut. Alhasil, dia tunduk kemudian mengeluarkan surat yang disimpan di pakaiannya untuk diserahkan kepada mereka. 

Pasukan pun terus berderap. Menjelang Makkah, sepuluh ribu obor dinyalakan. Tepatnya di Marr Azh Zhahran, tempat pasukan Muslimin beristirahat dan makan malam.  Abu Sufyan, tokoh kunci kaum Quraisy pun berkata, "Aku belum pernah melihat api dan pasukan seperti malam ini." Badil bin Warqa, yang ikut menyertai Abu Sufyan mencari kabar tentang kehadiran kaum Muslimin menjawab, "Demi Allah, ini Khuza'ah yang terbakar perang." Abu Sufyan menjawab, "Khuza'ah lebih kecil dan lebih hina dari pasukan ini." 

Abu Sufyan lantas menemui Rasulullah pada keesokan paginya. Dia pun menyatakan keislaman di hadapan nabi dan pamanda  Abbas bin Abdul Muthalib. Sadar bahwa Abu Sufyan merupakan tokoh yang menyukai kebanggaan, Nabi lantas memberikan kehormatan kepada Abu Sufyan atas saran Abbas. "Barang siapa masuk ke rumah Abu Sufyan, dia aman. Barang siapa menutup pintunya, dia aman. Dan barang siapa memasuki Masjidil Haram, dia aman." 

Pasukan itu tak tertahan. Dari tiga penjuru, kaum Muslimin berhasil menguasai Makkah tanpa kecuali. Memang ada perlawanan dari Ikrimah bin Abu Jahal yang berhasil menggalang sekutu di sebuah daerah bernama Khandamah. Namun, kekuatan mereka tak bisa menandingi keperkasaan Khalid bin Walid yang memimpin pasukan penyisir di sekitar lembah. Mereka lari tunggang langgang. Ikrimah yang berhasil lari ke Yaman kemudian kembali untuk menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah. 

Rasulullah sampai di Makkah dengan sikap penuh tawadhu. Sampai-sampai, dagunya hampir menyentuh dada. Dalam kemenangan itu, Nabi yang mulia menghancurkan berhala-berhala di dalam Ka'bah. Ketika itu, dia membacakan firman Allah dalam QS al-Isra:81. "Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap. Sungguh yang batil itu pasti lenyap." Nabi pun membacakan ayat lain yang tertera dalam QS Saba:49. "Kebenaran itu telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) mengulangi."

Lepas itu, Nabi pun menyuruh Bilal bin Rabah, seorang bekas budak yang pernah dihinakan kaum Quraisy karena keislamannya untuk mengumandangkan azan. Semua tertunduk khusyuk mendengarkannya penuh makna. Pengampunan umum diberikan kepada penduduk Makkah. 

Amnesti dikeluarkan dengan melepas kenangan betapa hebat siksaan yang diterima Rasulullah dan para sahabat pada awal masa kerasulan. Kenangan pahit saat Nabi yang mulia dikejar-kejar kaum quraisy hingga harus bersembunyi di Gua Tsur, intimidasi kepada para sahabat hingga menyebabkan mereka tewas hingga blokade ekonomi yang dilakukan kepada kaum Muslimin. Semua peristiwa itu seakan dilupakan Muhammad dan para pengikutnya ketika Fathu Makkah tiba. 

Amnesti dikeluarkan pada saat penduduk Makkah berkumpul di dekat Ka'bah. Mereka menunggu hukum keputusan Rasulullah terkait nasib mereka. Rasulullah pun bertanya, "Menurut dugaan kalian, apakah yang akan aku lakukan terhadap kalian? Mereka menjawab, "Dugaan kami adalah baik karena engkau adalah saudara yang mulia dan anak orang mulia." 

Rasulullah kemudian bersabda sambil mengutip firman Allah SWT. "Pada hari ini, tidak ada cercaan terhadap kamu. Mudah-mudahan Allah mengampuni kalian." (QS Yusuf: 92).  Rakyat Makkah pun mendapatkan jaminan keamanan dari hukuman mati, tidak menjadi tawanan, harta bergerak ataupun harta tidak bergerak tetap menjadi milik mereka dan mereka terhindar dari hukum membayar kharraj (pajak).  

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement