REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bagi sebagian kalangan, peringatan Hari Raya Idul Fitri menjadi perpaduan antara kebahagiaan dan rasa haru. Bahagia karena mereka dapat bertemu dengan Hari Kemenangan. Diri kolektif kembali kepada fitrah kemanusiaan—seakan bayi suci dari dosa-dosa. Substansi ‘Id al-Fithr memang demikian. 'Kembali pada kejadian asal yang suci.’
Akan tetapi, mereka juga merasa keharuan yang tak terbendung. Sebab, 1 Syawal berarti langkah pertama meninggalkan bulan suci Ramadhan.
Gambaran itulah yang coba ditangkap salah satu sajak Taufiq Ismail. Judulnya, “Setiap Habis Ramadhan.” Teks karya sastrawan Angkatan 66 itu juga disenandungkan grup musik legendaris, Bimbo.
Dalam sajak itu, ada sketsa tentang perasaan yang campur-baur ketika Idul Fitri atau melewati bulan suci. Dua bait berikut mengekspresikan keadaan batin seorang hamba Allah yang rindu, tetapi juga cemas, ketika harus berpisah dengan Ramadhan.
Setiap habis Ramadhan,
Hamba rindu lagi Ramadhan,
Saat-saat padat beribadat,
Tak terhingga nilai mahalnya.
Setiap habis Ramadhan,
Hamba cemas kalau tak sampai,
Umur hamba di tahun depan,
Berilah hamba kesempatan.
Membacanya, teringat kita pada Ibn Rajab al-Hambali yang berkata, “Ulama-ulama terdahulu (salaf) berdoa kepada Allah selama enam bulan agar mereka dipertemukan lagi dengan Ramadhan. Lantas, mereka juga berdoa selama enam bulan lagi agar Allah menerima amal-amal mereka selama Ramadhan yang lalu.”
Rasulullah SAW selalu diliputi perasaan gembira menjelang dan selama Ramadhan. Beliau bersabda, “Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka. Pintu-pintu neraka ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya, terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan seribu bulan (Malam Lailatul Qadar).”
Terbukanya pintu-pintu surga dimaknai amat besarnya kesempatan bagi seorang hamba untuk memeroleh ampunan dan ridha-Nya. Pahala kebajikan dilipatgandakan. Amalan sunah bernilai seperti halnya amalan wajib. Tidak hanya individu, tetapi juga komunitas Muslimin seluruhnya. Ibadah-ibadah berjamaah kian digiatkan, bahkan termasuk pada malam hingga dini hari.
Alangkah lezat menu yang disajikan Allah Ta’ala selama Ramadhan untuk hamba-hamba-Nya. Entah itu puasa, zakat fitrah, shalat tarawih, iktikaf, dan lain sebagainya. Belum lagi suatu malam yang di dalamnya permulaan Alquran diturunkan. Ada keberkahan yang luar biasa. Wajar bila setiap Muslim yang memahami sungguh-sungguh kebenaran janji Allah SWT. Mereka berlomba-lomba meraihnya.
Penyair Taufiq Ismail saat berbincang dengan Republika di rumahnya, Jalan Utan Kayu Raya, Jakarta, Rabu (24/4/2019).
Taufiq meneruskan sajaknya:
Alangkah nikmat ibadat di bulan Ramadhan,
Sekeluarga, sekampung, senegara.
Kaum Muslimin dan Muslimat sedunia,
Seluruhnya kukuh dipersatukan,
Dalam memohon ridha-Nya.
Sajak yang sederhana, namun sarat makna, itu ditutup dengan doa. Seorang hamba yang merindukan sesuatu yang belum lama ditinggalkannya, lantas bermunajat kepada Yang Maha Kuasa.
Sang perindu Ramadhan layaknya seorang insan yang kehilangan kekasihnya. Selalu ada kerinduan untuk kembali berjumpa.
Setiap habis Ramadhan,
Rindu hamba tak pernah menghilang.
Mohon tambah umur setahun lagi,
Berilah hamba kesempatan.