REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Rusli Abdullah menilai, kondisi inflasi pada Mei 2019 yang mencapai 0,68 persen dipengaruhi oleh produk hortikultura. Hal ini terlihat dari kenaikan harga cabai dan bawang putih yang memberikan kontribusi terhadap inflasi masing-masing 0,10 dan 0,05 persen.
Rusli menuturkan, pemerintah harus mampu meningkatkan kemampuan produksi cabai. Sebab, salah satu poin yang kerap menjadi penyebab inflasi adalah ketidaksiapan supply. "Inflasi biasa menandakan dua hal, permintaan tinggi tapi pasokan tersendat karena produksi tidak mencukupi," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Senin (10/6).
Sementara itu, untuk bawang putih, manajemen impor masih menjadi tantangan besar bagi pemerintah. Rusli menjelaskan, di tengah keterbatasan persediaan bawang putih beberapa waktu lalu, impor justru tidak dilaksanakan dengan sigap. Sebagai dampaknya, harga bawang putih melonjak.
Rusli mengatakan, surat persetujuan impor bawang putih dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) baru keluar pada pertengahan April. Setidaknya dibutuhkan waktu tiga pekan sampai komoditasnya dapat diterima di Indonesia. Oleh karena itu, tidak heran jika bawang putih masih berkontribusi atas inflasi Mei.
Apabila pemerintah segera memudahkan jalan impor bawang putih, Rusli memprediksi, tingkat inflasi pada Mei tidak akan menyentuh 0,68 persen. "Paling tidak, bisa 0,59 persen," tuturnya.
Di tengah kontribusi produk hortikultura terhadap inflasi Mei, Rusli menambahkan, beras justru memberikan sumbangan deflasi 0,02 persen. Penyebabnya, stok melimpah setelah panen raya sepanjang Maret dan April.
Bahkan, Rusli menyebutkan beras sebagai penyelamat inflasi pada Mei. Apabila tidak ada pasokan yang melimpah, tingkat inflasi dapat menyentuh 0,70 persen mengingat beras merupakan komoditas yang memiliki bobot besar terhadap inflasi. "Karena, beras kan jadi bahan pokok makanan untuk masyarakat Indonesia," katanya.
Tapi, Rusli menegaskan, melimpahnya ketersediaan beras pada Mei tahun ini lebih dikarenakan bertepatan dengan panen raya. Jika Ramadhan dan Lebaran jauh dari musim panen raya, ia cemas kondisi inflasi dapat lebih buruk dari 0,68 persen.
Di samping bulan Ramadhan dan Lebaran, pemerintah juga harus mengantisipasi kondisi menjelang akhir tahun yang kerap memiliki tingkat inflasi tinggi. Penyebabnya, ketersediaan beras mulai menipis karena tidak ada masa panen. Dampaknya, harga beras di pasaran merangkak naik hingga berkontribusi pada inflasi.
Hal ini terlihat pada tingkat inflasi pada tiga tahun terakhir. Rusli mencatat, pada Desember 2018, tingkat inflasinya adalah 0,62 persen. "Kondisi lebih tinggi terjadi pada 2017 yang mencapai 0,71 dan 0,96 pada 2016," ujarnya.
Oleh karena itu, Rusli menekankan, pemerintah wajib melakukan manajemen stok beras secara lebih baik. Pemerintah melalui Perum Bulog harus segera melakukan penyerapan dan ‘pengeluaran’ beras di waktu yang memang dibutuhkan.
Sebelumnya, BPS mencatat, penyebab utama inflasi pada Mei 2019 adalah bahan makanan. Kelompok ini mengalami kenaikan harga sebesar 2,02 persen atau terjadi kenaikan indeks dari 149,03 pada April 2019 menjadi 152,04 pada Mei 2019.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, bahan makanan memberikan andil terhadap inflasi Mei 2019 hingga 0,43 persen. Yang dominan memberikan inflasi adalah kenaikan cabai merah, ayam ras dan bawang putih.
"(Kenaikan) ini wajar mengingat mendekati Lebaran dan Ramadhan," tuturnya dalam konferensi pers di kantornya.