Jumat 14 Jun 2019 15:00 WIB

Berkah

ulama mendefinisikan berkah itu sebagai langgengnya dan bertambahnya kebaikan

Takwa (ilustrasi).
Foto: alifmusic.net
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Didik Dahlan Lukman

Seperti kata "takwa", kata "berkah" sudah sangat familiar. Baik kata "takwa" maupun "berkah" sudah fasih diucapkan oleh semua kalangan. Takwa biasanya menunjukkan kualitas ter tinggi kedekatan seseorang dengan Tuhannya, sementara berkah menunjukkan kualitas dan keberlangsungan sebuah nikmat dan kebaikan.

Karena itu, setiap individu, kelompok masyarakat, bahkan se buah bangsa dan negara berkeinginan se nantiasa mendapat keber kahan. Keberkahan diyakini pas ti mendatangkan kenikmatan, ke nyamanan, kedamaian, ketenteraman, kesejahteraan, dan kebahagiaan.

Umumnya, ulama mendefinisikan berkah itu sebagai langgengnya dan bertambahnya kebaikan (tajdidul khair). Pakar muf radat Alquran, Raghib Al-Isfahani memberikan pengertian tentang berkah dengan tsubutulkhair ilahii fii syain, yaitu kekal dan menetapnya kebaikan Tuhan pada sesuatu.

Di dalam Alquran, umumnya Allah hanya menyandingkan kata berkah ini dengan tempat, waktu, nama, dan peristiwa yang agung. Di antaranya: (1) Tempat Allah me nemui Nabi Musa, yaitu surah al-Qoshosh (28): 30, (2) Pohon Zaitun sebagai pohon keberkahan pada surah an-Nur (24): 35, (3) Kedudukan dan Panggilan Nabi Isa pada surah Maryam (19): 31, (4) Malam diturunkannya Alquran pada surah ad-Dukhon (44): 3, (5) Al-Aqsha sebagai tempat yang diberkahi pada surah al-Isra (17): 1, dan lain sebagainya. Dari ayat-ayat ini dapat disimpulkan bahwa setiap keberkahan atau kebaikan sejatinya adalah milik dan bersumber dari Allah dan diberikan atau disematkan hanya bagi makhluk yang dicintai-Nya. Penegasan ini dapat ditelaah pada firman Allah dalam surah Ali Imran (3): 26 dan Fathir (35): 2.

Kalau keberkahan dan kebaikan itu milik Allah, sejatinya tidak ada keberkahan yang bukan berasal dari Allah, sekaligus dapat dinyatakan bahwa sebenarnya bukan sebuah keberkahan jika da tangnya bukan dari Allah. Artinya, tidak ada yang pantas pula untuk dimintai keberkahan kecuali hanya Allah semata.

Karena itu, untuk mendapatkan keberkahan, pastinya harus mengikuti ketentuan yang digariskan oleh pemilik keberkahan itu, baik yang diberitakan langsung oleh Allah maupun melalui kabar dari utusan-Nya, yaitu Rasulullah SAW. Di antara perilaku yang dipastikan Rasulullah men datangkan keberkahan adalah sikap jujur dan terbuka.

Nabi SAW bersabda: "Penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila berlaku jujur dan saling terus terang, ke duanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Bila mereka berlaku dusta dan saling menu tup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi me reka," (HR Bukhari dan Muslim). Sebaliknya, "Sumpah itu akan menjadikan barang dagangan menjadi laris, akan tetapi menghapuskan keberkahan," (HR Bukhari).

Pada kesempatan lain, Rasulullah memberikan apresiasi yang tinggi kepada siapa saja yang giat bekerja, me nyingsingkan lengan baju sejak dari pagi hari. Beliau berdoa: "Ya Allah, berkahilah umatku pada waktu pagi nya," (HR Abu Daud). Dalam tasyahud yang dirangkai de ngan shalawat di akhir shalat, diingatkan bahwa segala ucapan selamat, keberkahan, shalawat, dan kebaikan adalah milik Allah.

Berkah tidak bisa didapat kecuali dengan keimanan dan ketakwaan yang paripurna. Iman yang memberikan garansi segala amal harus berdasarkan tauhid kepada Allah, sedangkan ketakwaan memberikan garansi bah wa amal-amal saleh yang dikerjakan itu sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulullah (QS al-A'raf (7): 96). Bagi bangsa Indonesia dengan sumber daya alamnya yang melimpah, insya Allah keberkahan datang tanpa harus diundang. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement