REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan memeriksa pemegang saham pengendali BDNI Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI), pada Jumat (28/6). Pemeriksaan ini akan menjadi pemeriksaan perdana yang dijalani Sjamsul dan Itjih setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 13 Mei 2019 lalu.
"Pemeriksaan akan dilakukan Jumat, 28 Juni 2019 pukul 10.00 di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan," kata Jubir KPK Febri Diansyah melalui pesan singkat, Kamis (27/6).
Febri menuturkan, surat panggilan untuk dua tersangka tersebut telah dikirimkan ke lima alamat di Indonesia dan Singapura. Di Indonesia, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan ke rumah para tersangka di Simprug, Grogol Selatan, Jakarta Selatan, sejak Kamis, 20 Juni 2019.
"Untuk alamat di Singapura, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia, ke empat alamat, sejak Jumat, 21 Juni 2019, yaitu: 20 Cluny Road; Giti Tire Plt. Ltd. (kantor pusat) 150 Beach Road, Gateway West; 9 Oxley Rise, The Oaxley dan 18C Chatsworth Rd," tutur Febri.
Selain mengantarkan surat panggilan pemeriksaan tersebut, KPK juga meminta Kedutaan Besar Republik Indonesia mengumumkannya di papan pengumuman kantor KBRI Singapura. "Upaya pemanggilan tersangka juga dilakukan dengan bantuan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), Singapura," ujar Febri.
Dalam perkara BLBI, Sjamsul dan Itjih diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp 4,8 triliun. Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Pasalnya, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp 220 miliar.
Atas perbuatan tersebut, keduanya disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Saat Sjamsul dan Itjih masih berstatus saksi, keduanya kompak tidak pernah memenuhi panggilan penyidik KPK. Pada awal Oktober 2018, keduanya dua kali dipanggil dan mangkir.
Penyidikan yang dilanjutkan dengan penetapan tersangka terhadap Sjamsul dan Itjih adalah pengembangan atas vonis terhadap mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung yang telah divonis 13 tahun penjara.
Vonis bersalah terhadap Syafruddin kini menjadi amunisi KPK untuk menyidik Sjamsul dan Itjih dalam perkara yang dinilai merugikan negara hingga Rp 4,58 triliun. Dalam pertimbangan putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor, Syafruddin disebut terbukti melakukan korupsi bersama dengan pihak lain yaitu Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.
Respons pengacara
Pengacara Maqdir Ismail menilai, seharusnya pemerintah mengajukan gugatan atau penagihan kepada Sjamsul Nursalim sebagai pemegang saham BDNI bila dipandang terjadi kekurangan bayar dalam pengembalian utang BLBI. Menurut Maqdir, kasus BLBI telah menghabiskan tenaga dan pikiran yang sangat menganggu dunia usaha.
"Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setiap periode selalu mempersoalkan kembali perkara ini, bahkan telah menyatakan Sjamsul Nursalim sebagai tersangka. Lebih baik pemerintah mengajukan gugatan agar Sjamsul membayar kekurangan bila memang dipandang begitu. Dengan demikian masalah menjadi lebih sederhana dan kita tidak menghabiskan seluruh energi untuk kasus ini,” kata Maqdir dalam keterangan tertulisnya, Jumat (21/6).
Maqdir menilai penetapan Sjamsul sebagai tersangka dengan mengaitkannya pada pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) tidak tepat. Karena SKL BLBI sepenuhnya urusan pemerintah.
Dalam proses ini, kata Maqdir, juga tidak terjadi suap menyuap sehingga alasan penetapan tersangka Sjamsul sangat lemah. Maqdir meminta KPK lebih bijak dalam memahami segala keputusan pemerintah di masa lalu, terutama kebijakan yang diambil dalam masa krisis, seperti yang dilakukan dalam penyelesaian BLBI.
Sekiranya KPK menilai ada masalah kekurangan pembayaran, Maqdir melanjutkan, sebaiknya KPK meminta kuasa dari pemerintah untuk menggugat Sjamsul Nursalim secara Perdata sesuai dengan MSAA. “Ada hal yang tidak bisa dilupakan termasuk oleh KPK, Kejaksaan Agung telah memberikan SP3 atas dugaan adanya perkara korupsi terkait BLBI BDNI,” tegasnya.
Sjamsul Nursalim Tersangka Kasus BLBI