Kamis 04 Jul 2019 21:15 WIB

Bagaimana Hadirkan Pemahaman Alquran Cita Rasa Indonesia?

Pemahaman Alquran mesti disesuaikan dengan konteks budaya masyarakat.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Nashih Nashrullah
Prof. Nasaruddin Umar menggelar konferensi pers setelah membuka acara International Conference on Interfaith and Sprituality di Ballroom Plaza Sinarmas, Jakarta, Ahad (23/6).
Foto: Republika/Nugroho Habibi
Prof. Nasaruddin Umar menggelar konferensi pers setelah membuka acara International Conference on Interfaith and Sprituality di Ballroom Plaza Sinarmas, Jakarta, Ahad (23/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Alquran harus dipahami dalam konteks keindonesiaan. Karena setiap negara memiliki cultural right atau hak asasi budaya untuk memahami kitab suci. 

"Jadi cultural right Arab Saudi ada untuk memahami Alquran, cultural right Mesir, Afrika, Indonesia juga punya cultural right hak-hak (asasi) budaya untuk memahami Alquran," kata Rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta, Prof KH Nasaruddin Umar, kepada Republika.co.id di Jakarta, Kamis (4/5).   

Baca Juga

Imam Besar Masjid Istiqlal itu menyampaikan, betapa hebatnya Alquran yang mampu simetris dengan hak asasi budaya di mana saja. Maka menerjemahkan Alquran jangan sampai menghilangkan perspektif keindonesiaannya. Karena harus membumikan terjemahan Alquran di Indonesia.  

Dia menerangkan, kondisi objektifnya berbeda dengan wilayah Timur Tengah dan wilayah lainnya. Kalau di wilayah lain mempunyai hak untuk memberikan penekanan terhadap terjemahan Alquran. Maka Indonesia juga punya hak untuk memberikan penekanan tertentu terhadap terjemahan Alquran.

"Jadi harus ada unsur keindonesiaan di dalam terjemahan Alquran, bukan membahasaindonesiakan Alquran saja tapi mencitra-indonesiakan Alquran juga boleh, jangan (hanya) mencitra-Arabkan, Alquran juga bisa dicitra-indonesiakan, dicitra-mesirkan, dicitra-Eropakan, dicitra-Amerikakan," ujarnya. 

Menurut Nasaruddin, Alquran yang rahmatan lil alamin bisa dicitra-positifkan di manapun dan kapanpun. Itulah konsekuensi Alquran sebagai kitab suci terakhir yang mampu mengayomi seluruh masyarakat di manapun dan kapanpun dalam lintasan sejarah yang dilewatinya.

Dia mencontohkan, Indonesia adalah negara maritim yang egalitarian, tingkat persamaan hak asasi manusia dan demokrasinya lebih tinggi. Dalam memahami Alquran juga harus memahami aspek pluralitasnya. Memberikan hak untuk hidup setara dengan orang-orang yang berbudaya lain. Jadi menekankan aspek kerukunannya, jangan menekankan aspek hitam putihnya. 

"Kita (tekankan) ini aspek keindahannya Alquran, ibarat sebuah lukisan membingkai kertas kosong putih itu tidak cantik, tapi membingkai sebuah warna-warni yang ada warna kontrasnya itu menjadi lukisan yang sangat indah, itu sunnatullah, jadi bhineka tunggal ika jangan dihadap-hadapkan dengan Alquran, Alquran memberikan kemungkinan orang untuk berbeda-beda," jelasnya.

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement