REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Berkali-kali bedug pusaka Syekh Qubro ditabuh, sebagai penanda akan segera memasuki waktu shalat Jumat. Jamaah pun mulai berdatangan memenuhi setiap shaf Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang berada di Jalan Kasepuhan, Lemahwungkuk, Cirebon.
Tak lama berselang adzan pun berkumandang. Tapi azan pertama sebelum pelaksanaan sholat jumat itu dikumandangkan oleh tujuh muadzin, atau lebih dikenal dengan tradisi azan pitu. Sementara untuk adzan kedua hanya dilakukan oleh satu orang. Pelaksanaan shalat Jumat pun berlangsung khusyuk dengan khutbah dua berbahasa Arab.
Usai shalat, sebagian jamaah berkerumun di ruang utama masjid. Mereka duduk mengikuti tujuh orang muazin yang tengah berdoa sambil membentuk lingkaran.
Sementara Republika.co.id berbincang dengan Adnan Mailani yang merupakan salah satu pengurus Masjid Sang Cipta Rasa. Menurut Adnan, berdasarkan prasasti yang tertulis dengan abjad pegon pada kayu penyangga di sisi Selatan Masjid, menyebutkan bahwa Masjid Sang Cipta Rasa asalnya bernama masjid agung Pakung Wati.
Di prasasti itu juga disebutkan bahwa masjid itu dibangun hanya dalam tempo beberapa bulan saja yakni mulai dari Jumadil awal dan selesai pada Muharam. Meski demikian tak ada keterangan dalam prasasti tersebut tentang tahun berdirinya masjid itu.
“Memang ada yang berpendapat 1480 Masehi, ada yang berpendapat 1498 masehi dan ada juga yang 1500 Masehi,” kata Adnan yang sudah hampir 30 tahun menjadi merbot di masjid itu.
Konon cepatnya pembangunan masjid Sang Cipta Rasa karena dikerjakan oleh ratusan orang. Bukan saja oleh warga asli Cirebon, namun juga oleh para bekas prajurit kerajaan Majapahit yang sudah ditaklukan oleh Demak.
Pembangunan Masjid Sang Cipta Rasa dipimpin langsung oleh Sunan Kalijaga dengan seorang arsitek dari Majapahit yakni Raden Sepat. Hal itu pula yang membuat Masjid Sang Cipta Rasa kental dengan gaya arsitektur Majapahit.
Menurut Adnan sejak berdirinya masjid Sang Cipta Rasa telah mengalami beberapa kali perbaikan. Renovasi besar terjadi pada tahun 1975, kala itu renovasi dilakukan dari penambahan tempat wudhu sampai ke bagian atas masjid lantaran galang penyangga saka yang keropos.
Bangunan Masjid Sang Cipta Rasa punya keunikan tersendiri, dinding masjid terbuat dari batu bata merah. Sementara seluruh tiangnya yakni dari kayu jati. Menariknya lagi untuk memasuki ruang utama masjid, seseorang harus merunduk. Sebab pintu masjid berukuran kecil atau tingginya hanya sepinggang orang dewasa. Ada sembilan pintu masuk ke ruang utama masjid, menurut Adnan itu melambangkan sembilan wali yang berperan menyebarkan Islam di tanah Jawa.
“Pintunya kecil agar orang yang masuk itu diingatkan untuk andap asor, jangan merasa tinggi, jangan merasa pintar. Tapi kita harus saling menghargai,” katanya.
Di bagian ruang utama masjid terdapat krpyak atau ruangan khusus untuk sholat keluarga keraton kasepuhan dan keraton Kanoman. Ada dua krapyak, satu bertempat di samping mimbar sedang satu lagi di bagian belakang ruang utama masjid.
Sementara di bagian mihrab imam dihiasi dengan ukiran-ukiran unik dengan dinding dari batu alam putih. Terdapat filosofi dari ukiran-ukiran mihrab imam. Seperti ukiran ombak atau lautan yang disebut Mungal, bermakna agar seorang imam tak hanya fasih dalam bacaan sholat namun juga luas dalam pengetahuannya. Ukiran gunung atau disebut Mangil bermakna agar seroang imam mempunyai jiwa tegar, tegas dan tak mudah terombang-ambing dalam situasi apapun. Dan ukiran matahari atau disebut Mangup yang memiliki arti agar imam memberikan rasa aman dan ketentraman bagi semua jamaah.
Di luar ruangan terdapat dua sumur tua yang masih terjaga dan masih mengalirkan air. Jamaah menyebutnya sumur zam-zam atau sumur syahadatain. Pada mulanya sumur itu digunakan untuk berwudhu. Terdapat juga beduk bersejarah yang rangkanya dibuat oleh syekh Qubro seorang ulama pada masa walisongo. Menurut Adam, tabuhan beduk akan lebih lama pada siang hari yakni sekitar 5 menit sebagai penanda dari kisah yang melatarbelakangi azan pitu.
Sementara, Adnan pun menceritakan kisah yang melatarbelakangi tradisi azan pitu di masjid Sang Cipta Rasa. Konon setelah masjid itu berdiri, ada seseorang pendekar ilmu hitam yakni menjangan wulung yang menolak keberadaan masjid itu.
Ia pun lantas mencoba kesaktiannya dengan menebar kekuatan gaib dari atas kubah masjid. Hal itu pun membuat muzin dan jamaah di masjid Sang Cipta Rasa meninggal. Kesaktian ilmu hitam Manjangan Wulung juga sampai menewaskan istri sunan Gunung Jati yakni Nyi Mas Pakung Wati.
“Setelah itu memanggil sunan Kalijaga dan berembuk, akhirnya dipilih tujuh santri untuk azan bersamaan, lalu terpental Manjangan Wulung sampai Indramayu dan kubah masjid juga terpental sampai Banten,” katanya.
Sementara saat ini masjid Agung Sang Cipta Rasa tiap harinya banyak dikunjungi peziarah. Masjid ini pun mempunyai banyak kegiatan seperti pengajian rutin setiap malam sabtu, marhaban pada malam Senin, dan tabligh Akbar.