REPUBLIKA.CO.ID, Cerpen Oleh: Wiji Lestari
Ignas melamarku lagi, Din, apa yang harus kukatakan? Suaranya dari ujung telepon terdengar ga lau, mungkin memang begitu keadaannya. Kubayangkan ia tengah menggigit bibir untuk menekan kegalauan, membuatku terkekeh.
Terima saja, kalian sudah lama kencan, mau ngapain lagi? Kamu nggak ada rencana 'kumpul kebo' seumur hidup, kan? Candaku.
Gila, tentu saja tidak, Dinar! Kudengar tawanya pecah. Kami saling mencintai, lanjutnya
Entah berapa ratus kali ia meyakinkanku dengan kalimat terakhir, dengan tujuan apa pula? Turut bahagia jika benar lelaki yang menurut cerita Sean berkebangsaan Jepang itu serius menjalin hubungan dengannya. Betapa tidak? Sean perempuan dewasa yang sudah seharusnya enjoy dengan cinta. Hmm, ya cinta...
Sambungan telepon kami terputus dengan gurau kecil. Kuhela napas, lalu mencecap kopi panas dalam cangkir antik. Sebuah cangkir istimewa buatan lelaki itu, yang begitu egois. Dia pergi tanpa sedikit pun pesan, apalagi janji untuk kembali. Aku betul-betul kecewa. Tapi, apalah guna luka dan kecewa yang ditinggalkannya, ia mangkir tak akan pernah hadir. Persahabatan ini terasa berseri bagai hadirnya musim semi.
Cerita lamaran Ignas membawaku menempuh perjalanan dari Malang menuju kota batik, Pekalongan. Keluarga Sean pindah dari Malang setelah tragedi kecelakaan nyaris merenggut nyawa putri tunggal mereka. Aku tak banyak mengingat hal ihwal kepindahan itu. Bahagia, hanya itu yang kurasakan sepanjang perjalanan.
Percakapan di media WhatsApp terjalin lancar dengan Sean Andara Lee, perempuan keturunan Tiongkok yang tidak banyak teman semasa SMA meski kecantikannya cukup populer saat itu. Visualisasi masa berseragam abu-abu putih melintasi benak, memori, yang kami lalui bersama.
Tapi, oh! Entah kenapa tiba-tiba kepalaku nyeri luar biasa ketika serangkaian masa lalu melintas, hingga beberapa hal lenyap dari ingatan, tak bersisa! Sepasang kaki bersepatu kets putih menjejak halaman rumah pada alamat yang diberikan Sean, tepat pukul sembilan malam. Ada yang bisa saya bantu, Mbak? Perempuan paruh baya menyapa ramah.
Halo, saya Dinar, teman lama Sean. Kujabat tangannya seraya senyum. Tak berapa lama kemudian, ia membawaku masuk rumah untuk bertemu tuannya. Istirahatlah dulu, Mbak. Besok baru bicara dengan nona. Ia serahkan kunci kamar ke tanganku kemudian berlalu. Aku mencoba menahannya.
Tunggu, Bu. Katakan sesuatu tentang Sean, kenapa ia tidak menemuiku langsung? Padahal ia yang mengundangku kemari. Sampean capek setelah perjalanan jauh, rehatlah sejenak agar esok hari segar saat bertemu nona, permisi. Ia meninggalkanku mematung keheranan dan hanya bisa menatap punggungnya menjauh.