Pada hari kesebelas kelahiran Nul, orang-orang dusun tahu bahwa perempuan lebih kuat ketimbang laki-laki. Perempuan itu berdiri bagai tebing padas. Angin buruk yang berembus ke dusun tidak mampu menggoyahkannya.
Namun, lelaki itu, ia menarik diri dari dunia. Ia duduk di lincak di bawah pohon mangga. Menatap kosong ke depan, ke arah halaman dan jalan depan rumahnya. Orang-orang, awalnya, selalu menyapanya. Namun, ia membisu. Lalu, orang yang menyapanya semakin berkurang. Dan, pada hari ke de lapan, praktis tak ada lagi yang menyapanya.
Ia duduk diam. Perempuan itu, istrinya, awalnya mencoba membawanya masuk. “Semua akan membaik,” kata perempuan itu. “Kita bisa menghadapinya bersama-sama,” bujuk perempuan itu. “Ayolah masuk, malu sama tetangga,” ujar perempuan itu. Namun, tak satu pun rayuan yang mangkus membuat lelaki itu beranjak. Maka, si perempuan tahu, suaminya telah menyerah.
Dokter terlalu mahal dan posisinya jauh. Puskesmas berjarak dua puluh empat kilo meter dan seseorang mesti menempuh jalan rusak berlumpur untuk sampai ke sana. Namun, di dusun sebelah, ada seorang mantri sepuh yang biasa membantu menangani orang sakit, mulai dari demam hingga penyakit langka di daerah situ macam diabetes.
Menangani persalinan dan khitan (beberapa bocah yang akan dikhitan merasa risih dan malu karena ia seorang perempuan) termasuk keahliannya yang tak perlu diragukan lagi. Si lelaki memanggilnya dan mantri tersebut tiba ketika si perempuan sedang mengerang kesakitan di dipannya yang berbunyi nyaring setiap kali si perempuan menggeliat sehingga si mantri khawatir dipan itu akan segera ambruk.
“Dipan itu kuat,” kata si lelaki memupus kekhawatiran si mantri.
Tiga puluh empat menit setelah kedatangan si mantri, perempuan enam puluh tahunan itu merasa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Makhluk tak lazim akan segera keluar ke dunia yang fana ini. Kepala bayi itu mulai nongol. Kecil. Terlalu kecil untuk ukuran bayi normal. Jauh terlalu kecil. Hanya setengah kepalan tangan si mantri. Namun, begitu ia menarik kepala tersebut, ia menemukan kesulitan yang luar biasa. Berat. Sulit. Seakan terdapat badan yang besar setelah kepala tersebut.
Dan, si calon ibu semakin sengit berteriak. Setelah empat jam yang melelahkan dan penuh darah dan keringat, firasat sang mantri terbukti. Ia tertegun melihat makhluk di depannya. Janin manusia dengan kepala kecil, dengan tangan dan kaki hanya sepan jang tak lebih dari lima sentimeter dan lebih terlihat seperti tonjolan daging ketimbang tangan dan kaki, serta badan yang luar biasa besar. Bayi yang baru lahir tersebut lebih tampak seperti seekor ikan gembung raksasa yang tengah menggembung. Namun, tentu saja orang-orang di dusun lereng gunung itu tidak pernah tahu ikan gembung, apalagi ikan gembung raksasa.
“Lihatlah anakmu. Aku tak tahu ia laki-laki atau perempuan,” kata mantri itu seraya mengelap tangannya kepada bapak baru yang menunggu di luar kamar dengan cemas. Lelaki itu masuk. Dan, tak sampai semenit kemudian, ia keluar, lantas menuju lincak di bawah pohon mangga di depan rumahnya, duduk di situ, diam, tanpa melakukan apa pun selain menatap kosong ke depan, hingga nyawanya putus sebelas hari kemudian, dalam usia dua puluh empat tahun lebih tiga bulan enam hari.
Si ibu jauh lebih tegar. Sebelum keluar untuk memanggil sang bapak baru, mantri yang berpengalaman bertahun-tahun membantu persalinan tersebut membersihkan tubuh perempuan itu, membantunya bersandar lebih tinggi, dan mengatakan supaya ia siap dengan apa pun yang akan terjadi. Perempuan itu mengangguk. Ia sedikit terkejut ketika mantri menunjukkan makhluk dalam gendongan. Ia lantas meminta anak itu.
“Ini anakku?”
“Itu anakmu. Tapi, aku tak tahu ia laki-laki atau perempuan.”
“Malaikat memang tidak berjenis kelamin,” kata perempuan itu seraya mendaratkan ciuman pertama di pipi si bayi. Ketika mantri keluar kamar dan suaminya masuk, ia meminta agar lelaki itu segera membacakan azan. Namun, seperti yang kita tahu, begitu si lelaki melihat wujud bayi itu, ia tidak pernah lagi mengeluarkan suara. Maka perempuan itu, dengan suara lemah dan bergetar, mengumandangkan azan sendiri untuk si bayi.
Sesuai adat istiadat, tetangga-tetangga segera berdatangan untuk menengok. Mereka membawa apa yang sekiranya diperlukan oleh si ibu baru dan si bayi. Popok, selimut, sabun bayi, sabun cuci, bedak bayi, dan sebagainya. Dan, tak satu pun dari mereka yang tidak terkejut ketika melihat bentuk si bayi. Namun, norma kesopanan menjaga mulut mereka dari mencela meski ada beberapa di antara mereka yang tidak dapat menahan keterkejutan secara reflek mengucap istighfar yang ditambah kalimat makhluk apa itu?
“Ia bayi panas. Siapa namanya? Nul, ya Nul, karena kata ibunya nama itu bisa buat laki-laki dan perempuan dan bayi itu tidak memiliki kelamin. Kata mantri, ia berkemih melalui lubang anusnya,” kata seseorang.
“Ya, dan ibunya selalu menambahi memang begitulah adanya malaikat,” sahut yang lain.