REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Denny JA
Dalam derita yang paling pahit sekalipun, dapat kita temukan makna hidup (Victor Frankl)
Kutipan di atas menjadi semakin bermakna jika kita tahu betapa pahitnya pengalaman hidup Victor Frankl. Di usia 37 tahun, selama kurang lebih 3 tahun, ia hidup dalam siksaan Holocoust. Itu tempat pembuangan, isolasi dan penyiksaan (Concentration Camp) yang dilakukan Nazi kepada warga Yahudi.
Tahun 1942, Victor bersama istrinya Tilly dan ratusan warga Yahudi, dipaksa masuk ke dalam tempat pembuangan di Theresienstadr Ghetto, di Praha utara. Ia pun dipindah-pindahkan hingga mengalami 4 tempat pembuangan.
Selama masa itu, ia melihat ibunya mati di sana. Istrinya juga mati di sana. Juga saudara sekandung dan iparnya, mati di sana. Ia melihat para sahabat disiksa. Bahkan banyak yang bunuh diri karena tak tahan derita.
Tak jarang, mereka disediakan makanan busuk. Sup ikan disajikan. Tapi kadang di balik daging ikan, ada ulat dan cacing hidup. Tujuan semua memang ingin meneror.
Victor Frankl bertekad sejak awal. Ia tak boleh mati di tempat penyiksaan ini. Bahkan ia tak boleh mengalami sakit jiwa. Ia harus hidup dan sehat mental keluar dari kamp konstrasi. Ia harus kuat untuk menceritakan kepada peradaban kisah tempat pembuangan tersebut.
Satu satunya daya tahan psikologis baginya untuk hidup dan sehat, ia mencoba menemukan makna hidup. Bahkan di tempat paling gelap dan tersiksa, Frankl meyakini, manusia tetap dapat bertahan jika ia menemukan makna hidup.
Dua puluh satu tahun kemudian, setelah ia dibebaskan dari tempat pembuangan di tahun 1945, Victor Frankl pun membuat sejarah.
Ia menerbitkan buku di tahun 1966, berjudul The Will to Meaning. Bagi Sigmun Freud, motif paling kuat dari manusia adalah mencari kesenangan: The Will to Pleasure.
Bagi Nietzche, motif paling kuat bagi manusia adalah mencari kekuasaan: The Will to Power. Bagi Victor Frankl, motif paling kuat dari manusia adalah mencari makna hidup: The Will to Meaning.
Ia buktikan penting dan faedah kemampuan mencari makna hidup bahkan di tempat yang paling tersiksa sekalipun. Ia buktikan tidak hanya dengan teori, tapi dengan kisah hidupnya sendiri.
Tiga puluh empat tahun sejak Victor Frankl menulis buku The Will to Meaning, Danah Zohar dan Ian Marshall, di tahun 2000, menulis: SQ- Spiritual Intelligence. Terjemahan Bahasa Indonesia yang paling sederhana: Kecerdasan Spiritual. Setelah kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan Emosional (EQ), datanglah era kecerdasan spiritual.
Satu elemen kecerdasan spiritual adalah kemampuan individu untuk menemukan makna hidup bahkan dalam penderitaan yang tengah dialami. Derita, sebagaimana lahir dan mati, itu pasti dialami setiap manusia yang hidup.
Derita tak sepenuhnya bisa diatasi oleh individu yang semata cerdas secara intelektual atau emosional belaka. Siksaan di Holocoust itu misalnya belum tentu bisa dilewati oleh tokoh yang jenius secara intelektual belaka.
Itu elemen kecerdasan spiritual yang membuat individu bersangkutan mampu mengatasi buruknya lingkungan. Lalu di sana tetap menemukan makna.
Buku ini mengeksplorasi isu kecerdasan spiritual. Namun isu itu dikaitkan pula dengan Umroh. Mengapa Umroh perlu dikait- kaitkan dengan kecerdasan spiritual?
Sebanyak 85 persen penduduk indonesia adalah Muslim. Di tahun 2019, total populasi Muslim Indonesia menjadi 200 juta lebih manusia. Setiap tahun umat Islam Indonesia antri untuk Umroh.
Di tahun 2018 saja, kuota Umroh jemaah Indonesia sebanyak 1, 1 juta orang. Umumnya perjalanan Umroh dalam paket yang lazim, ke Mekkah dan Madinah, sekitar 7-14 hari.
Di samping menjalankan umroh sebagai bagian dari ibadah, buku ini ingin menambahkan satu pencapaian penting. Umroh dalam fungsi maksimal seharusnya juga menjadi hijrah batin membuat individu lebih cerdas secara spiritual.
Melalui Umroh terbuka pintu perjalanan spiritual yang membuat hidup individu itu lebih bermakna dan bahagia.
Buku ini disusun dengan struktur sebagai berikut: umrah mengajarkan kita agar kita kembali kepada tujuan hidup yang asasi. Apa tujuan kita hidup? Untuk apa kita dilahirkan? Hendak jadi apa kita di dunia?
Prinsip agama Islam memberikan jawaban. Kita hidup agar menjadi pemimpin (khilafah) di dunia, mencapai kebahagiaan yang otentik. Konsep bahagia dalam Islam berbeda dengan konsep bahagia dalam literatur ilmiah biasa. Bahagia dalam Islam selamat kehidupan di dunia dan akhirat. Ada konsep akhirat di sana.
Islam mengajarkan hidup tidak hanya ada di dunia tetapi juga di akhirat. Agar bisa selamat di dunia dan akhirat, kita harus menjadi pribadi yang Al-Ihsan. Kita tidak cukup hanya menjadi Islam dan memenuhi rukun-rukun dalam Islam, tetapi juga menjadi pribadi yang unggul, pribadi Al-Ihsan.
Menjadi pribadi Al-Ihsan dan memperoleh kebahagiaan itu, berkah Allah, salah satu tujuan hidup. Segala upaya dan ibadah yag kita lakukan ditujukan untuk itu. Bagaimana agar kita bisa menjadi pribadi Al-Ihsan? Islam mengajarkan bahwa Allah yang serba Maha telah memberi karunia kepada kita sebuah modal, yang disebut dengan kecerdasan.
Kita diberikan otak, hati dan jiwa. Otak adalah sumber dari kecerdasan intelektual yang bisa kita gunakan untuk menyelesaikan masalah. Hati adalah sumber dari kecerdasan emosional yang membuat kita mampu merasakan dan memaksimalkan emosi kita.