Sabtu 13 Jul 2019 16:19 WIB

Muhammadiyah Rumuskan Kalender Islam Global Berbasis Hisab

Kalender Islam Global bisa merujuk kepada sejumlah kesepakatan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Nashih Nashrullah
Kalender (ilustrasi)
Foto: Andi Nur Aminah/Republika
Kalender (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menggelar Konsolidasi Paham Hisab Muhammadiyah. Kalender Islam Global jadi fokus bahasan utama.

Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Prof Syamsul Anwar, mengatakan salah satu amanat Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar tidak lain memperjuangkan kalender Islam global. 

Baca Juga

Dia menekankan, ini bukan ikhtiar yang pertama mengingat Majelis Tarjih sejak 2015 hampir setiap tahun melaksanakan halaqah paham hisab. Pada 2018, bahkan sudah mengundang organisasi-organisasi lain.

"Dari pengamatan kita memang pada tingkat ahli pun kalender ini belum dipahami secara maksimal," kata Syamsul di Aula Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta, Sabtu (13/7). 

Untuk itu, dia menuturkan Majelis Tarjih dan Tajdid berjuang agar bisa sosialisasikan kalender yang dianggap isu strategis keumatan pada Muktamar Makassar.  

Targetnya, memaksimalkan pemahaman lingkungan Muhammadiyah. Lalu, setelah empat kali pertemuan Konsolidasi Paham Hisab Muhammadiyah akan dikumpulkan pakar-pakar hisab di lingkungan Muhammadiyah.

"Bila kita semua sudah cukup memahami, kita akan dengan mudah menyampaikannya, kita tidak mungkin menyampaikan ke masyarakat luas tanpa kita terlebih dulu paham," ujar Syamsul.  

Dalam pertemuan tersebut, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah memberikan dua alternatif. Pertama, melakukan penyatuan lokal dengan menerima kalender lokal dengan kriteria 4+6,5 atau kriteria lain.  

Jika semua menerima kalender ini, semua umat Islam di Indonesia akan bersatu. Namun, tidak dapat mengajak masyarakat dunia lain untuk menerima kalender itu karena sifatnya lokal. 

Artinya, hanya bisa diterapkan di Indonesia dan tidak masyarakat Muslim di tempat-tempat lain. Langkah ini dirasa tidak produktif dan tidak memiliki daya tawar ke luar.

Kedua, melakukan penyatuan global dengan menerima kalender atas kriteria-kriteria gloibal. Misalkan, kalender Turki 2016 atau kalender global lain. 

“Jika masyarakat di Indonesia menerima kalender ini, kita dirasa akan bersatu secara lokal karena telah menerima kalender bersama. Pada saat yang sama, ada peluang mengajak bangsa lain,” kata Prof Syamsul,  

Menurut dia, alternatif kedua dirasa lebih fisibel karena bisa menyatukan secara lokal. Sekaligus, memberi peluang mengajak masyarakat dunia Musli lain untuk mengikuti dan memberi contoh persatuan. Bahkan, itu akan menjadi kontribusi masyarakat Muslim Indonesia kepada dunia Islam. Khususnya, dalam upaya-upaya penyatuan sistem tata waktu Islam. (Wahyu Suryana)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement