Selasa 16 Jul 2019 15:43 WIB

Pemerintah Terbitkan Izin 18 Juta Ha Lahan Selama Moratorium

Mayoritas perizinan lahan tersebut diperuntukkan bagi kebun sawit dan pertambangan

Kondisi alih fungsi lahan dari hutan menjadi lahan pertanian di Mekarmanik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (26/3/2019).
Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Kondisi alih fungsi lahan dari hutan menjadi lahan pertanian di Mekarmanik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (26/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi, menyayangkan sikap pemerintah yang telah menerbitkan izin seluas 18 juta hektare (Ha) selama moratorium hutan primer dan lahan gambut. Dari 18 juta Ha lahan yang diberikan izin tersebut, Provinsi Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Papua merupakan paling dominan digarap untuk kepentingan korporasi.

"Artinya meskipun ada moratorium proses penerbitan itu masih terjadi. Umumnya diperuntukkan bagi lahan kelapa sawit, hutan tanaman industri, hak pengusahaan hutan dan tambang," kata dia, saat diskusi media bertajuk Moratorium Permanen Hutan dan Visi Indonesia, Akan Kemana?, di Jakarta, Selasa (16/7).

Baca Juga

Berdasarkan kajian yang dilakukan Walhi, salah satu penyebab utama masih banyaknya lahan atau hutan di Indonesia diberikan izin karena terdapat kebijakan kontradiktif dengan semangat moratorium. Sebagai contoh Peraturan Pemerintah (PP) nomor 104 nomor 2015 perubahan atas PP Nomor 10 Tahun 2010. Akibatnya, hutan Indonesia seluas sembilan juta Ha dilepaskan selama moratorium.

Kedua, PP Nomor 6 Tahun 2007 junto 03 2008 yang berelasi dengan penerbitan izin sejak 2009 hingga 2019 seluas 11 juta Ha yang meliputi hutan tanaman industri.

Ia berpadangan jika pemerintah serius dan ingin menyelamatkan hutan di Tanah Air, maka moratorium tersebut tidak cukup hanya dengan Instruksi Presiden (Inpres). Namun, harus memiliki regulasi hukum yang kuat dan mengikat minimal Peraturan Presiden.

"Jadi, dia tidak hanya bisa mengikat internal pemerintahan tapi juga bisa dijadikan payung hukum dalam proses penegakan hukum," katanya.

Selain itu, Walhi juga menyarankan agar pemerintah segera merevisi dua peraturan yang berbenturan dengan semangat moratorium tersebut yaitu PP 104 tahun 2005 dan PP Nomor 6 Tahun 2007. Terakhir, ia menyoroti Perppu terhadap Undang-Undang nomor 41 tentang Kehutanan terutama terhadap perubahan pasal 19 dan pasal 22 yang dianggap menjadi landasan maraknya penerbitan izin setelah reformasi.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement