REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pemimpin kelompok separatis Papua, Benny Wenda dianugerahi Oxford Freedom the City Award, Rabu (17/7) waktu setempat. Dewan Kota Oxford Inggris memberikan penghargaan kepada Benny sebagai penggerak demokrasi perdamaian.
Anggota dewan kota menghormati pegiat kemerdekaan Papua Barat Benny Wenda, yang diberikan suaka Inggris pada 2002. Kendati demikian, Kantor Luar Negeri Inggris mengatakan keputusan penghargaan tersebut tidak berpengaruh pada kebijakan pemerintah Inggris. Hal itu berarti tidak mendukung kemerdekaan Papua yang digaungkan Benny.
Duta Besar Inggris dipanggil pada 2013 untuk menjelaskan mengapa kelompok Benny diizinkan didirikan di Oxford. Sedangkan, Benny dikenal sebagai pemimpin yang kerap menyuarakan Papua Merdeka.
Kampanye Papua Merdeka mendesak referendum di Papua Barat. Mereka mengklaim suku-suku di kepulauan menderita di bawah pasukan keamanan Indonesia. Benny kerap bersuara di luar, tetapi tidap pernah melihat perkembangan yang tengah dilakukan di Papua saat ini.
Lord Mayor of Oxford atau Wali Kota Oxford Craig Simmons mengatakan, penghargaan itu layak bagi Benny. Menurutnya, Benny berkontribusi begitu banyak baik secara lokal maupun di panggung internasional. "Oxford adalah salah satu yang pertama mendengar seruan rakyat Papua Barat akan keadilan, hak asasi manusia dan penentuan nasib sendiri," kata Benny dilansir BBC, Kamis (19/7).
"Penghargaan ini menunjukkan bahwa orang-orang Oxford mendengarkan dan merespons," ujarnya.
Benny Wenda diberikan suaka politik di Inggris pada 2002, dan membuka markas Kampanye Papua Barat Gratis di Oxford pada 2013. Setelah kementerian luar negeri Indonesia menyatakan keprihatinan yang kuat atas situasi tersebut, duta besar Inggris mengatakan, bahwa kegiatan Benny di Inggris tidak ada hubungannya dengan Pemerintah Inggris.
Kantor Luar Negeri Inggris mengatakan, bahwa Dewan lokal secara politik independen dari pemerintah pusat. "Kami mendukung integritas wilayah Indonesia dan menganggap Papua sebagai bagian integral dari Indonesia," kata pernyataan Kantor Luar Negeri Inggris.
Pada Maret, seorang turis Polandia dipenjara selama lima tahun setelah dinyatakan bersalah merencanakan pemberontakkan di provinsi Papua.