REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) menyebut masalah penganiayaan terhadap etnis minoritas Muslim Uighur menjadi salah satu krisis hak asasi manusia yang terbesar dalam sejarah dunia kontemporer.
Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo di Washington, Kamis (18/7) waktu setempat menyebut Cina menjadi salah satu negara dengan krisis hak asasi manusia (HAM) di zaman ini. "Itu benar-benar noda abad ini," kata Pompeo seperti dilansir dari VOA, Jumat (19/7).
Pompeo juga menuduh Pemerintah Cina mengintimidasi negara-negara di dunia agar tidak menghadiri konferensi yang digelar AS tersebut.
Ia mengatakan, AS telah mencatat negara-negara yang tunduk pada Cina. AS menantang semua negara untuk 'menemukan keberanian' membela Cina atas masalah Uighur tersebut.
Pada awal pekan ini, ia mengatakan Konferensi yang digelar selama tiga hari dan berakhir pada Kamis (18/7) itu akan dihadiri lebih dari 100 negara di dunia. Namun, Kementerian Luar Negeri AS menyebut target kehadiran konferensi itu tidak tercapai.
"Kami tahu pemerintah Cina memanggil negara-negara secara khusus untuk mencegah partisipasi," kata Pompeo.
Presiden AS Donald Trump pada hari yang sama juga memanggil 27 warga yang menjadi korban penganiayaan atas nama agama. Empat orang di antaranya berasal merupakan warga Muslim dari Uighur. Pertemuan tersebut juga menjadi bagian dari konferensi keagamaan yang digelar oleh Pemerintah AS.
Selain bertemu dengan warga Muslim Uighur, Trump juga bertemu dengan warga lintas agama asal Myanmar, Turki, Korea Utara, dan Iran. Dalam pertemuan sekitar 30 menit itu, para warga menceritakan bentuk-bentuk penganiayaan yang di alami.
Namun, secara spontan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Lu Kang, menegaskan bahwa Cina tidak pernah melakukan penganiayaan agama dan menjunjung tinggi kebebasan bergama sesuai hukum.
Lu Kang menilai, langkah Trump sarat akan campur tangan urusan internal Cina. Pemerintah Cina juga memandang AS menggunakan agama sebagai dalih untuk mencampuri urusan dalam negeri Cina.
"Kami menyesalkan dan sangat menentang itu. Kami mendesak AS untuk melihat kebijakan agama Cina dan kebebasan beragama secara adil," kata Lu Kang.