REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarah selalu terjadi silih berganti. Pemerintahan Islam pun demikian. Saat Dinasti Umayyah berkuasa sekian abad, kemudian berdiri Dinasti Fatimiyah untuk menggantikannya. Selanjutnya, berdiri Dinasti Abbasiyah, Seljuk, Mamluk, Ayyubiyah, hingga Ottoman (Utsmaniyah) di Turki.
Khusus di kawasan Asia Tengah dan Timur Tengah, pada abad ke-11 hingga 14 M, berdiri sebuah dinasti Islam bernama Seljuk. Dinasti ini berdiri setelah kekuasaan Dinasti Abbasiyah mulai melemah.
Pemerintahan Islam ini dikenal Kekaisaran Agung Seljuk. Perintisnya adalah Seljuk Beg. Namun, baru terwujud pada masa Tugril Beg tahun 1063 M. Kekaisaran ini terbentang dari Anatolia hingga ke Punjab di belahan selatan Asia.
Dinasti ini berasal dari sebuah suku yang mendiami wilayah Asia Tengah. Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam tentang Khilafah disebutkan bahwa sekelompok orang dari suku ini mengembara ke arah barat, kemudian menetap di wilayah Asia Tengah.
Karena kepiawaian para pemimpin suku, sebagian anggotanya berhasil mendapatkan sejumlah kedudukan, baik di pemerintahan maupun militer. Sebagian lainnya memilih mengembara ke kawasan Timur Tengah. Kelompok inilah yang dikenal dengan nama Ghuz atau Oghuz. Mereka terbagi ke dalam sembilan suku.
Permulaan awal abad ke-11 Masehi, orang-orang suku Oghuz ini bermigrasi ke wilayah selatan Syr Darya. Yaitu, sebuah daerah yang berada di bagian tenggara Laut Aral, saat salah satu dari keluarga Bani Seljuk, yakni Seljuk Beg, menjadi Muslim.
Pada saat itu, wilayah Transoksania menjadi kawasan yang diperebutkan antara penguasa Dinasti Samaniah terakhir dan Dinasti Gaznawi. Dalam posisi ini, orang-orang suku Oghuz terlibat sebagai sekutu ataupun tentara bayaran kedua penguasa Islam tersebut.
Salah seorang anak Seljuk Beg yang bernama Arslan Israil, masuk ke Transoksania dengan pengikutnya. Tetapi, pada 1027 M, ia ditahan oleh penguasa Dinasti Gaznawi, Mahmud bin Sebuktegin dan pengikutnya.
Di bawah pimpinan anaknya, Qutlumsy, mereka dipukul keluar dari wilayah Mahmud, bukan ke timur, tempat mereka datang, tetapi ke barat. Di wilayah barat, tepatnya di tepi Pegunungan Tabaristan dan Dailam, sebuah kawasan padang rumput di Azerbaijan, Qutlumsy dan pengikutnya berupaya untuk mendirikan kekuasaan.
Dua keponakan Arslan yang bernama Tugril Beg dan Chagri Beg, yang memutuskan untuk tetap tinggal di wilayah Syr Darya, akhirnya diusir oleh suku setempat. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1030 M.
Untuk mencari permukiman baru, keduanya terpaksa menyerang ibu kota pemerintahan Gaznawi di Transoksania. Sultan Mas’ud, penguasa Gaznawi saat itu--yang berupaya untuk mempertahankan daerah kekuasaannya--mengalami kekalahan saat bertemu tentara Bani Seljuk di Dandaqan pada 1040 M.
Pasukan Tugril mengikuti jejak pendahulunya yang bermigrasi ke arah barat. Sementara itu, Chagri memilih untuk menetap di Khurasan. Tugril kemudian membuat perjanjian damai dengan Abu Kalijar, penguasa Dinasti Buwaihi di Fars, dan berunding dengan Khalifah al-Qa'im di Baghdad.
Dengan perjanjian damai itu, posisi Tugril semakin kokoh. Dan, ketika Abu Kalijar meninggal dunia, Fars menjadi lahan terbuka bagi serangan orang-orang Turki. Setelah berhasil menguasai Fars, ia kemudian merebut Syiraz dan Ahwaz pada 1052 M.