REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Dwi Sawung mengkritisi upaya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong percepatan pembangunan Pembangunan Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sebanyak 12 pembangkit pada 2019 hingga 2022. Menurutnya, pemerintah diminta fokus ke manajemen pengelolaan sampah.
Walhi, kata dia, pernah menggugat perpres tentang PLTSa pada 2016, yang kemudian terbit perpres baru pada 2018. Menurut Walhi, kedua perpres tersebut tidak jauh berbeda.
"Keberatannya, dia (PLTSa) andalkan sentralisasi, karena di UU itu kan pengelolaan sampah harus desentralisasi, jadi tidak di tempat pembuangan akhir (TPA), tapi pengelolaan di hulu bukan di hilir atau TPA," ujar Sawung kepada Republika.co.id, Jumat (19/7).
Walhi menyoroti proses thermal atau dibakar pada PLTSa dan izin Amdal setelah PLTSa telah dibangun. Sawung menilai hal ini sangat rawan mengingat bahan-bahan yang dibakar tidak homogen. Dia mencontohkan batu bara yang homogen tetap mendahulukan amdal.
"Kita sepakat biogas cuma yang sekarang dianggap PLTSa, kita menolak proses thermal atau dibakar," kata Sawung.
Sawung menilai pemilihan 12 kota sebagai tempat PLTSa tak lepas dari produksi sampah kota-kota tersebut di atas 800 sampah per hari. "Namun, ada kota yang masih sangat rendah Solo, saya juga tidak mengerti kenapa Solo diambil," ucap Sawung.
Walhi menyarankan pemerintah untuk lebih fokus pada manajemen pengelolaan sampah, mulai dari hulu dengan pemisahan pemilahan, kemudian juga produsen harus bertanggung jawab pada kemasan, regulasi aturan soal kemasan.
"Dari sisi regulasi yang penting, karena mau teknologi apapun tidak akan bisa jalan kalau model (produksi) sampah kaya kita sekarang," kata Sawung menambahkan.