REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Makmum Nawawi
Diriwayatkan, ketika anak cucu Adam semakin berkembang, mereka ramai berbicara di sampingnya, Adam hanya diam. Mereka pun bertanya, “Wahai Ayah, mengapa engkau tak mau berbicara?” Adam menjawab, “Duhai anak-anakku, ketika Allah SWT mengeluarkan aku dari sisi-Nya, Dia mengamanatkan kepadaku, seraya berfirman, 'Janganlah kamu banyak berbicara, maka kamu pun akan kembali lagi ke sisi-Ku'.”
Diam atau sedikit berbicara memang bukan hanya emas, melainkan juga menjadi suatu cermin dari pribadi yang berintegritas tinggi. Karena, sikap diam atau sedikit bicara tak identik dengan kebodohan atau ketidaktahuan. Diam, dalam banyak keadaan, justru menyiratkan pemikiran yang dalam dan dinamis dari pemiliknya.
Ali RA berujar, “Ashamtu raudhatul-fikr” (diam adalah taman berpikir). Itulah sebabnya mengapa ulasan tentang fadhilatush-shamt (keutamaan diam) diletakkan dalam bab khusus pada kajian akhlak, tazkiyatun nafs (tasawuf). “Man shamata naja (Siapa yang diam, maka ia selamat).” (HR Tirmidzi).
Seperti narasi di atas, sedikit berbicara juga bisa mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang ceriwis atau banyak berbicara tanpa ada faedahnya, bisa menjauhkan diri dari Allah. “Sebaik-baik ucapan adalah yang sedikit dan terarah.”
Tentang hebatnya sikap diam ini, kita juga bisa belajar dari cerita Nabi Zakaria AS. Walau sudah renta dan beruban serta istrinya yang mandul, dengan doa ia pun dianugerahi anak, yaitu Nabi Yahya. Dan, sesaat sebelum sang buah hati lahir, Nabi Zakaria diberikan tanda, yaitu diam dan tidak bercakap-cakap (QS Maryam: 10).
Karena itu, ungkapan “diam menghanyutkan” seyogianya tak selalu dikonotasikan untuk hal-hal yang negatif. Karena, sikap diam juga bisa menjadi tangga menuju kesuksesan dan meraih prestasi yang patut dibanggakan.
Amr bin Qais mengisahkan, ketika Lukman al-Hakim sedang mengajar murid-muridnya, muncullah seseorang dan melewati majelisnya. Dengan nada heran, orang itu bertanya kepada Lukman, “Bukankah engkau hamba sahaya dari Bani Fulan?” Lukman membenarkannya.
Ia bertanya kembali, “Bukankah engkau si penggembala yang kulihat di gunung anu?” Lukman juga membenarkannya. Dengan penuh heran, orang itu kembali bertanya. “Lalu, apa yang membuatmu berubah dan menjadi seperti ini?” Lukman menjawab, “Berkata jujur dan selalu diam dari hal-hal yang tak berguna.”
Kepada anaknya, Lukman juga berkata seperti yang diriwayatkan dari Mak-hul, dari Ka'ab, “Duhai anakku, jadilah orang yang bisu, tapi berpikir. Jangan jadi orang yang banyak bicara, tapi bodoh. Biarlah air liurmu mengalir di atas dadamu, sementara engkau menahan dari ucapan yang tiada bermakna bagimu. Itu lebih indah dan lebih baik daripada engkau duduk bersama suatu kaum, lalu engkau berbicara yang tiada manfaatnya bagimu.”
“Setiap amal ada penunjuknya, sementara penunjuk akal adalah berpikir dan penunjuk berpikir adalah diam. Setiap sesuatu ada kendaraannya dan kendaraan akal adalah tawadhu. Cukuplah engkau disebut bodoh jika engkau menahan dari apa yang harus engkau arungi. Cukuplah engkau disebut berakal jika manusia aman dari keburukanmu.”