REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Para petambak garam di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mengaku terkendala biaya untuk bisa menerapkan teknologi geomembran. Mereka pun mendesak adanya bantuan dari pemerintah untuk mengatasi kendala tersebut sehingga meningkatkan kualitas garam lokal.
Ismail, seorang petambak garam di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, mengakui bahwa penggunaan geomembran, bisa meningkatkan kualitas garam produksinya. Sebab, lapisan ini membuat hasil tambak memiliki kadar garam yang tinggi dan warna garam yang lebih putih dan bersih. Penerapan geomembran juga membuat masa produksi dan panen berlangsung cepat.
Di kalangan petambak tradisional, geomembran disebut pula sebagai "plastik." Para petambak garam di daerahnya, lanjut Ismail, ingin memanfaatkan teknologi tersebut. Namun, mereka belum bisa melakukannya karena ketiadaan modal.
"Petambak juga ingin menggunakan geomembran, tapi tidak mampu membelinya,’’ kata Ismail, Sabtu (3/8).
Dia menyebutkan, untuk satu gulungan geomembran yang berukuran 4x40 meter persegi, harganya lebih dari Rp 2,5 juta. Untuk satu lahan berukuran 0,5 hektare, perlu sekitar 10-15 gulung geomembran. Karena itu, para petambak tradisional rata-rata tak mampu membelinya.
Petani memanen garam di Losarang Indramayu, Jawa Barat, Kamis (1/8/2019).
Harga Garam Terus Anjlok
Apalagi, saat ini harga garam lokal terus merosot. Malahan, masih banyak garam yang belum laku terjual. Alhasil, para petambak tak bisa memeroleh penghasilan.
Menurut Ismail, di daerahnya baru beberapa petambak garam yang telah memasang geomembran. Itu pun terbatas hanya dua sampai tiga gulung saja.
"Kami berharap pemerintah bisa memberi bantuan geo membran,’’ tutur Ismail.
Sekitar 10 tahun lalu, dia menuturkan, pemerintah pernah memberi bantuan geomembran. Namun, bantuan tersebut tak diiringi bimbingan teknis soal penggunaanya. Akibatnya, petambak menjadi tidak paham betul cara menggunakannya.
"Jadi akhirnya, banyak yang kemudian menjualnya atau menggunakannya tak semestinya. Seperti untuk menutup gudang garam dan lainnya,’’ terang Ismail.
Ismail meyakinkan, kondisi dahulu berbeda dengan kondisi sekarang. Menurutnya, petambak garam di daerahnya rata-rata kini sudah mengetahui cara menggunakan geomembran dan manfaatnya. Karena itu, jika nanti ada bantuan, mereka akan benar-benar memanfaatkannya dengan baik.
Apgasi: Kualitas Perlu Ditingkatkan
Terpisah, Ketua Asosiasi Petani Garam (Apgasi) Jawa Barat M Taufik menyatakan, penggunaan geomembran diakuinya bisa menghasilkan garam kualitas satu. Karena itu, dia berharap para petambak garam segera menerapkan teknologi tersebut.
Taufik menyebutkan, harga garam kualitas tiga di tingkat petambak saat ini rata-rata Rp 250 per kilogram (kg). Adapun garam kualitas satu di tingkat petambak, berada di kisaran Rp 300 hingga Rp 350 per kg.
"Tapi itu pun kalau laku. Kenyataannya, sekarang masih menumpuk, belum laku,’’ kata Taufik kepada Republika.co.id, Jumat (2/8) lalu.
Pada 6 Agustus 2019 mendatang, rencananya akan diadakan penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) antara petambak garam dan Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI). Dalam MoU yang rencananya berlangsung di Kantor Pusat Kementerian Perindustrian (Kemenperin) itu, pihak AIPGI akan berjanji menyerap garam petambak.
Setelah MoU ditandatangani, lanjut Taufik, maka AIPGI akan langsung bergerak melakukan penyerapan garam petambak. Namun, dia menyatakan, garam yang rencananya akan diserap adalah garam kualitas satu.
Taufik menilai, penyerapan garam oleh AIPGI tersebut akan bisa meningkatkan harga jual garam di tingkat petambak. Dia berharap, harga garam kualitas satu di tingkat petambak nantinya minimal mencapai Rp 1.000 per kg.
"Untuk petambak yang tidak mau berubah dan tetap mempertahankan produksi garam kualitas tiga, ya memang akan ketinggalan," tandas Taufik.