Senin 05 Aug 2019 21:32 WIB

Legislator Ingin Istilah 'Kekerasan' dalam RUU P-KS Diganti

Istilah kekerasan dalam RUU P-KS dinilai multitafsir sehingga akan diganti kejahatan

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Hasanul Rizqa
Gedung MPR/DPR/DPD di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. (ilustrasi)
Foto: Antara/Yudhi Mahatma
Gedung MPR/DPR/DPD di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi VIII DPR-RI Iskan Qolba Lubis menyampaikan, banyak anggota komisi tersebut yang ingin mengganti nama Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS). Sebab, istilah kekerasan seksual cenderung multitafsir sehingga beleid ini bila nantinya menjadi undang-undang berpotensi memunculkan pasal karet. 

Karena itu, lanjut politikus Partai Keadilan Sejahtera itu, istilah kekerasan diusulkan diganti menjadi kejahatan.

Baca Juga

"Kesimpulan terakhir (pembahasan RUU PKS), teman-teman (komisi VIII) ingin ada perubahan dari segi judul. Yang diusulkan kekerasan seksual, tapi teman-teman mengusulkan menjadi kejahatan seksual," kata Iskan kepada Republika.co.id, Senin (5/8).

Menurutnya, istilah kekerasan seksual tidak memiliki makna yang jelas. Oleh karena itu, Komisi VIII cenderung mengikuti UU KUHP. Dia menyebut, ada sembilan pasal yang berhubungan dengan norma pidana di dalam RUU P-KS.

Maka dari itu, Komisi VIII akan berkonsultasi dengan Komisi III supaya ada kesalingpahaman tentang norma-norma yang ada di UU KUHP yang sedang dibahas Komisi III.

Ia menegaskan, akan menjadi aneh bila Komisi VIII membuat norma-norma hukum pidana, apalagi jika sampai bertentangan dengan UU KUHP. Pada intinya, komisi VIII berfokus pada persoalan pencegahan kejahatan seksual dan rehabilitasi. Sebab, memang itulah yang sejalan dengan ruang lingkup kerja Komisi VIII.

Sebelumnya, Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) juga mengusulkan agar RUU P-KS diganti redaksinya menjadi RUU Kejahatan Seksual. Iskan pun menyambut baik usulan tersebut.

 

Jangan Seperti UU ITE

Sebab, sekali lagi, istilah kekerasan dapat memicu timbulnya pasal karet. Iskan mengingatkan agar jangan sampai RUU P-KS ketika sudah diundangkan justru menimbulkan kontroversi semisal UU ITE.

"Itu bagus. Memang arahnya ke sana. Kalau (istilah) kekerasan, terlalu luas maknanya. Nanti susah mengukurnya. Nanti penegak hukum susah menerapkannya atau menjadi bias seenaknya penyidik untuk menafsirkan semaunya seperti yang dirasakan di UU ITE," ujarnya.

Ia menegaskan, jangan sampai ada pasal karet di dalam RUU PKS. Sebab, hal itu hanya akan membuat masyarakat tidak mengalami kepastian hukum.

Dia pun menampik adanya upaya-upaya legislator untuk menghambat jalannya RUU P-KS. "Yang ada pro dan kontra itu yang di luar karena tidak mengerti permasalahannya. Di luar, ada yang mengira ada pihak yang menghambat (pembahasan RUU P-KS  --Red), padahal tidak seperti itu. Berjalan normal saja," jelasnya.

Bagaimanapun, Iskan tidak dapat memastikan, kapan pembahasan RUU P-KS akan selesai. Dia hanya berharap, proses itu bisa selesai di pada tahun 2019. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement