Jumat 09 Aug 2019 02:55 WIB

Tanpa Membakar, Sampah Pembersihan Lahan Bisa Jadi Kompos

Sampah hasil pembersihan lahan justru bisa dijadikan kompos tanpa membakar.

Ilustrasi.
Foto: Antara/Heribertus
Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, BANJARMASIN -- Perilaku membersihkan lahan dengan cara membakar memang masih ditempuh sebagian masyarakat petani dan perusahaan perkebunan. Mengingat pertimbangan tenaga dan biaya yang lebih efisien daripada harus bersusah payah membuka lahan secara manual dengan membabatnya menggunakan alat pertanian yang ramah lingkungan.

"Kami terus mengedukasi petani agar tak membakar lahan karena sampah hasil pembersihan justru bisa dijadikan pupuk kompos," kata Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Ir H Sunardi MS di Banjarmasin, Kamis (8/8).

Menurut dia, untuk membuat pupuk kompos bisa menggunakan peralatan sederhana, sehingga proses penguraian material organik untuk pengomposan dilakukan dalam tempo yang lebih singkat.

"Ada alat untuk mencacahnya, seperti buatan petani di Barito Kuala tidak terlalu mahal. Harganya sekitar Rp 6 juta sampai Rp 8 juga, kami rasa kelompok petani bisa urunan membelinya untuk digunakan bersama," jelasnya.

Untuk itulah, lebih disarankan petani menebas semak belukar atau rerumputan di lahan yang ingin ditanami, ketimbang membakarnya. Karena selain menjaga kesuburan tanah, sampah hasil pembersihan juga bisa dijdikan pupuk kompos yang merupakan pupuk organik hasil penguraian sisa-sisa tanaman dan hewan dengan bantuan organisme hidup berupa mikroorganisme ataupun makroorganisme.

Sunardi pun menepis asumsi lahan yang dibakar jadi lebih subur. Memang diakuinya, ada penambahan hara akibat pembakaran tetapi bukan berarti subur terus menerus.

"Hanya terbatas pada karbon yang tersisa. Sementara yang lain-lain seperti binatang kecil mikroorganisme ikut mati. Padahal itu ikut menjadi perombak yang dari serasah menjadi humus dan kemudian hara. Kalau itu semua mati, maka jangka panjangnya tidak akan subur lagi. Makanya orang berladang sekali dua kali tanam ditinggal karena tidak subur lagi jika dibakar," paparnya.

Bahkan, suatu lahan untuk menjadi subur kembali seperti semula membutuhkan waktu di atas 15 tahun. Caranya, bekas ladang dihutankan kembali agar subur sehingga bisa ditanami.

Namun kenyataannya, ungkap Sunardi, membakar di musim kemarau tidak bisa dihindari. Artinya, berharap atau meminta petani sama sekali tidak ada pembakaran lahan susah.

"Di sinilah peran pemerintah membantu petani dalam pembersihan lahan. Misalnya pengadaan teknologi pengomposan tadi atau dibantu biaya menebas dan kemana membuang sampahnya misalnya, selain dibuat pupuk kompos," tandasnya menekankan.

Para akademisi di Fakultas Kehutanan ULM pun melakukan pembinaan ke sejumlah kelompok tani seperti di Desa Tebing Siring, Kabupaten Tanah Laut pada areal hutan kemasyarakatan (HKm) kawasan hutan lindung Gunung Langkaras. Sehingga kini tidak ada pembakaran. Padahal masyarakat setempat berusaha pertanian di alang-alang.

Kemudian juga pendampingan budidaya lahan gambut terintegrasi yang terletak di Kecamatan Liang Anggang, Kota Banjarbaru. Lahan dikelola oleh masyarakat bersama Badan Restorasi Gambut (BRG) dan juga ahli gambut ULM.

Akademisi mendukung kegiatan pengelolaan lingkungan untuk mengurangi kebakaran lahan gambut yang berimbas pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat dari hasil pertanian yang dikembangkan secara terintegrasi melalui pola agroforestri.

Di sisi lain, perihal lahan rawa gambut yang mudah terbakar, Sunardi memastikan suatu lahan tidak akan terbakar sendiri tanpa adanya percikan api.

"Kalau ceritanya ada gesekan. Kayu kering ketemu kayu kering empuk bergesek tidak akan menimbulkan percikan api. Kecuali batu sama batu bisa menimbulkan percikan. Namun itu kita sengaja saja sulit. Nampaknya terjadi kebakaran muncul mungkin tidak sengaja orang buang putung rokok atau memang sengaja dibakar," bebernya.

Diakui dia, lahan gambut lapisan kedalamannya tidak sama. Bahkan, ada yang sampai 3 meter. Untuk itu, dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan memang harus tuntas benar-benar padam hingga ke dalam.

"Karena kelihatan di permukaan api padam, padahal di dalam belum. Itulah yang kerap dikira api nyala sendiri. Sebenarnya itu disebabkan api di dalam yang memang belum padam. Sehingga ketika tertiup angin dan kondisi cuaca panas dan kering, apinya membesar lagi hingga ke permukaan," pungkasnya.

Bencana Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Kalimantan Selatan yang kerap terjadi setiap musim kemarau memang sangat mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat dari kabut asap yang ditimbulkan.

Kalak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalsel Wahyuddin mengungkapkan, ada 7 wilayah yang menyatakan status siaga darurat karhutla tahun ini, sehingga jadi prioritas dalam penanggulangannya yaitu Kota Banjarbaru, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Banjar, Kabupaten Tapin, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan Kabupaten Balangan.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement