Sabtu 10 Aug 2019 03:08 WIB

Jimly Nilai Istilah NKRI Bersyariah Munculkan Kesalahpahaman

NKRI adalah kesepakatan yang sudah final.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andri Saubani
Ketua umum ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia), Jimly Asshidiqie
Foto: Republika TV/Surya Dinata
Ketua umum ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia), Jimly Asshidiqie

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie menjadi pembicara dalam acara Muhammadiyah bertajuk "Muhammadiyah dan Kemerdekaan Indonesia" di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (9/8). Dalam acara itu dia menyinggung soal "NKRI Bersyariah" yang merupakan hasil Ijtima Ulama IV.

Jimly mengawali pembahasan tersebut dengan menyinggung soal tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang pada akhirnya dihapus lalu menjadi sebagaimana pada sila pertama Pancasila sekarang, "Ketuhanan Yang Maha Esa". Sedangkan sebelumnya, kalimat yang menyertai kata 'Ketuhanan' yakni tujuh kata, 'dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'.

Baca Juga

"Tujuh kata itu terus menerus jadi masalah sampai sekarang. Kemarin ada istilah Ijtima Ulama (IV), ada kata-kata NKRI Bersyariah. Kata-kata itu muncul lagi karena ada impian yang belum selesai tentang tujuh kata yang dicoret itu. Padahal (NKRI yang sekarang) ini sudah kesepakatan. Sekali kita sepakat ya sudah. Dalam Alquran, selain iman dan keadilan, yang juga sangat penting adalah amanah. Sikap setia pada perjanjian, kita harus setia pada janji," ujar dia saat mengisi acara.

Jimly kemudian memaparkan soal Piagam Hudaibiyah yang dibuat oleh Rasulullah SAW dengan Kaum Quraisy. Dalam pembuatan Piagam ini Rasulullah bersusah-payah membuat kesepakatan. Hingga akhirnya terjadilah kesepakatan meski kalimat pembuka berbunyi "bismillah" dihilangkan karena ada protes dari salah seorang Yahudi. Termasuk juga kalimat 'Muhammad Rasulullah' dihilangkan menjadi 'Muhammad bin Abdullah' dalam piagam tersebut. Walaupun pada setahun kemudian perjanjian tersebut dikhianati oleh Kepala Suku dengan banyak alasan.

"(Tetapi) sekali sudah berjanji, meskipun janji itu susah payah, tidak puas, kalau sudah disepakati, wajib setia. Itu yang terjadi dan diteladankan Rasulullah. Maka, boleh jadi banyak umat Islam yang tidak puas, tapi kan sudah disepakati," ujarnya.

Jimly lalu mempertanyakan kembali soal tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang akhirnya dihilangkan itu. "Apa iya sempurna betul tujuh kata itu? Tidak juga. Itu kalau didalami detail satu per satu, tidak seluruhnya positif juga. Karena bagaimana pun kita bernegara harus memperlakukan semua warga secara sama. Ya masak hanya yang Islam saja diwajibkan oleh tujuh kata itu. Yang lain kok tidak. Kan tidak adil," jelasnya.

Karena itu, Jimly mengajak umat Muslim di Indonesia agar tidak perlu lagi mendengung-dengungkan kekecewaan dengan memakai narasi NKRI bersyariah. Sebab, ini menimbulkan salah paham yang tidak perlu. NKRI, kata dia, sudah final sehingga seluruh pihak harus dalam kerangka Ketuhanan Yang Maha Esa.

Jimly juga menegaskan bahwa sila pertama Pancasila itu mempersatukan bangsa Indonesia. Soal surga ataupun neraka, lanjutnya, itu urusan Allah SWT. Dan terpenting, harus saling mendoakan agar khusnul khatimah.

"Jangan mentang-mentang kita anggap orang itu tidak sama dengan kita maka dia masuk neraka padahal bisa jadi 5 menit jelang ajal dia khusnul khatimah. Kita yang merasa baik ini 5 menit jelang ajal su'ul khatimah. Maka marilah kita saling menghormati keyakinan masing-masing, yang penting kita berbuat baik dalam kehidupan bersama," ucap dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement