REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jika dunia Barat baru mengenal dan mengembangkan aromaterapi pada awal abad ke-20 M, peradaban Islam telah mengembangkannya 13 abad lebih awal.
Sebelum kimiawan berkebangsaan Prancis, Rene-Maurice Gattefosse memperkenalkan aromaterapi di Eropa pada 1920-an, para dokter dan kimiawan Muslim seperti al-Kindi, Jabir Ibnu Hayyan serta Ibnu Sina telah mengembangkan metode pengobatan ini pada abad ke-7 M.
Aromaterapi merupakan istilah generik bagi salah satu jenis pengobatan alternatif yang menggunakan bahan cairan tanaman yang mudah menguap, dikenal sebagai minyak esensial, dan senyawa aromatik lainnya dari tumbuhan. Aromaterapi bertujuan untuk mempengaruhi suasana hati atau kesehatan seseorang, yang sering digabungkan dengan praktik pengobatan alternatif.
Sejatinya, peradaban manusia telah mengenal aromaterapi sejak 6.000 tahun silam. Namun, di tangan kimiawan dan dokter Muslim di era kekhalifahan, teknologi pembuatan minyak esensial dan pengobatan dengan aromaterapi berkembang sangat pesat. Nabi Muhammad SAW yang hidup sekitar abad keenam dan ketujuh Masehi pun memiliki kecintaan terhadap aroma.
Berdasarkan catatan sejarah, pada abad ke-7 M, para ahli kimia Arab berupaya mencari "saripati" dari tanaman. Pada abad ke-9 M, ahli kimia Muslim legendaris bernama Yakub al-Kindi (803-870 M) dalam bukunya bertajuk Perfume Chemistry and Distillation telah mampu menciptakan beragam jenis minyak esensial.
Kimiawan Muslim lainnya, yakni Jabir Ibnu Hayyan alias Geber juga telah mampu menciptakan teknologi penyulingan minyak esensial dari beragam tumbuhan dan bunga. Semua penemuannya itu dituliskannya dalam Summa Perfectionis. Dalam kitab itu, Jabir menjelaskan teknologi penyulingan ciptaannya dalam beberapa bab.