REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru saja mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 37 Tahun 2019 tentang Pengawetan dan Pendistribusian Daging Kurban dalam Bentuk Olahan. Fatwa itu membolehkan daging kurban diolah dan diawetkan.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am Sholeh menyebutkan, selain membolehkan daging kurban diawetkan menjadi kornet, rendang, serta lainnya, fatwa juga membolehkan daging didistribusikan ke daerah di luar lokasi penyembelihan. Dengan begitu dibolehkan pula mengirimkan daging kurban ke luar negeri seperti yang sudah dilakukan beberapa lembaga filantropi.
"Iya boleh. Pertimbangannya karena secara fikih memungkinkan. Tujuannya pun untuk kepentingan kemaslahatan yang lebih besar," ujar Asrorun kepada Republika.co.id pada Ahad, (11/8).
Ia menambahkan, sepanjang kebutuhan daging kurban untuk yang lebih dekat sudah terpenuhi, maka daging bisa dikirim ke luar negeri. Sebelumnya Asrorun mengatakan, fatwa tersebut dikeluarkan karena adanya permintaan dari masyarakat. Dirinya pun menguraikan ketentuan umum fatwa itu.
Pada prinsipnya, daging hewan kurban disunahkan untuk disalurkan segera (ala al-faur) setelah hewan kurban itu disembelih. Dengan demikian, manfaat dan tujuan penyembelihan hewan kurban dapat diwujudkan segera, yaitu kebahagiaan antarsesama dengan cara menikmati daging kurban.
Asrorun menuturkan, daging kurban disunahkan untuk dibagikan dalam bentuk daging mentah. Inilah yang membedakan kurban (Idul Adha) dengan akikah.
Menurut dia, daging kurban disunahkan untuk didistribusikan dalam keadaan demikian agar terpenuhi hajat orang yang membutuhkan di daerah terdekat. "Menyimpan sebagian daging kurban yang telah diolah dan diawetkan dalam waktu tertentu untuk pemanfaatan dan pendistribusian kepada yang lebih membutuhkan adalah mubah (boleh) dengan syarat tidak ada kebutuhan mendesak," jelasnya.