REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) berharap Undang Undang (UU) Perlindungan Data Pribadi (PDP) bisa segera disahkan. Aftech melihat UU PDP ini penting untuk memperjelas data apa saja yang boleh diakses oleh penyelenggara fintech.
"Kita butuh data alternatif untuk mengetahui profil risiko seseorang, cuma saat ini memang belum ada UU PDP, dari regulator juga tidak bisa bersikap, mereka lebih cenderung tutup dulu sampai aturannya jelas," ujar Head of Financial Identity and Privacy Working Group Aftech, Aji Satria Suleiman, Selasa (13/8).
Sejauh ini, Aji mengaku ruang gerak penyelenggara fintech legal masih sangat terbatas, salah satunya untuk mengakses data alternatif. Data alternatif yang dimaksud adalah data pribadi yang didapatkan melalui pertukaran dengan aplikasi lainnya.
Fintech legal membutuhkan data alternatif seperti riwayat frekuensi belanja online, pemesanan makanan dan ojek online, ataupun pemesanan tiket online sebagai bentuk credit scoring terhadap calon nasabah. "Makanya kita berharap aturannya jelas, semakin jelas aturannya OJK semakin cepat juga perusahaan fintech mengakses data-data tersebut," tutur Aji.
Selain data alternatif, Aji mengatakan fintech legal juga perlu mengakses data pribadi seperti nomor kontak di ponsel calon nasabah. Sepanjang digunakan untuk menunjang credit scoring, menurutnya, hal tersebut dapat menekan potensi gagal bayar peminjam.
Tidak hanya itu, langkah ini juga dinilai dapat menghindari masyarakat terjerat dari fintech-fintech ilegal. Dengan keterbatasan mengakses data kontak, fintech legal tidak bisa masuk ke pasar fintech ilegal.
"Harusnya boleh juga mengakses kontak, sepanjang tidak digunakan untuk collection, tapi untuk credit scoring harusnya enggak masalah," kata Aji.