REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ide untuk menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Halauan Negara (GBHN), dengan tetap mempertahankan pemilihan presiden (pilpres) secara langsung, itu dinilai tidak tepat. Demikian pendapat ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) Veri Junaidi.
Tambahan pula, kata dia, gagasan demikian hanya akan memperpuruk sistem check and balance antarlembaga negara.
"Ada pernyataan bahwa pihak yang menginginkan adanya GBHN dan menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi juga tetap akan mempertahankan pilpres secara langsung. Maka ini adalah ide yang konyol," ujar Veri dalam diskusi di Kantor Formappi, Matraman, Jakarta Timur, Jumat (16/8).
Menurut dia, jika ide tersebut diwujudkan, nantinya MPR akan menjadi lembaga tertinggi negara.
"Sehingga, bagaimana mungkin ada lembaga tertinggi negara, kemudian ada lagi lembaga yang lebih tinggi dari hasil pilihan rakyat (presiden). Dalam sistem tata negara kita, tidak pas dan nanti bagaimana sistem check and balance-nya?" ujar Veri.
Sebagai contoh, bila nanti MPR kembali menjadi lembaga tertinggi, tetapi dalam situasi yang demikian, yakni kontestasi pilpres langsung dipertahankan. Veri pun mempertanyakan, apa fungsi MPR secara jangka panjang.
Dia bahkan mencurigai, fungsi MPR nantinya akan menyandera presiden pilihan rakyat lewat instrumen GBHN. Presiden bisa-bisa diberhentikan jika tak menjalankan GBHN.
Sebelumnya, Ketua MPR RI Zulkifli Hasan (Zulhas) kembali menyinggung amendemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 dengan agenda menghidupkan kembali GBHN. Seruan amendemen itu disampaikan Ketua MPR dalam pidato pembukaan sidang tahunan MPR RI pada Jumat (16/8) pagi.
Menurut sosok yang akrab disapa Zulhas itu, MPR telah mengkaji penataan ulang sistem ketatanegaraan. Melalui berbagai aspirasi dan masukkan, MPR merekomendasikan untuk menghidupkan kembali GBHN dimasukkan ke dalam amendemen terbatas UUD 1945. Rekomendasi itu untuk ditindaklanjuti oleh MPR periode 2019–2024.