Ahad 18 Aug 2019 08:36 WIB

Komite Keselamatan Jurnalis Desak Pengusutan Aksi Kekerasan

Enam jurnalis alami kekerasan saat meliput aksi RUU Ketenagakerjaan, Jumat (16/8).

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Andri Saubani
[ilustrasi] Sejumlah wartawan yang tergabung di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengikuti aksi unjuk rasa memperingati Hari Buruh Internasional di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (1/5/2019).
Foto: Antara/Boyke Ledy Watra
[ilustrasi] Sejumlah wartawan yang tergabung di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengikuti aksi unjuk rasa memperingati Hari Buruh Internasional di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (1/5/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Keselamatan Jurnalis mendesak pengusutan tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melakukan liputan aksi massa buruh di kawasan DPR/MPR pada Jumat (16/8). Komite Keselamatan Jurnalis mendorong Polri menjadikan Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri Nomor 2/DP/MoU/II/2017 sebagai Peraturan Kapolri.

"Alasannya MoU tersebut belum efektif membendung kekerasan terhadap jurnalis, utamanya pelaku kekerasan yang berasal dari anggota Polri," kata Juru Bicara Komite Sasmito Madrim dalam keterangan pers yang diterima Ahad (18/8).

Diberitakan enam jurnalis dari media cetak, daring, dan televisi mengalami kekerasan fisik dan intimidasi saat meliput aksi unjuk rasa RUU Ketenagakerjaan di sekitar Gedung DPR/MPR Jakarta, Jumat (16/8). Diduga, pelakunya adalah aparat kepolisian.

Kekerasan serupa juga pernah terjadi terhadap jurnalis saat meliput aksi 21-22 Mei lalu. AJI Jakarta mencatat ada tujuh pelaku kekerasan diduga anggota Polri dari 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis selama dua hari tersebut.

Dalam catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), selama Januari-Desember 2018, polisi juga menjadi pelaku terbanyak dengan 15 kasus dari 64 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis. Padahal, menurut Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri Nomor 2/DP/MoU/II/2017 pasal 4 ayat 1 menyebutkan para pihak berkoordinasi terkait perlindungan kemerdekaan pers dalam pelaksanaan tugas di bidang pers sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Komite Keselamatan Jurnalis menilai kepolisian tidak serius menangani pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang diduga berasal dari anggotanya. "Hal itu terlihat dari belum adanya anggota polisi yang  mendapat hukuman, meski telah melakukan kekerasan terhadap jurnalis," ujar Sasmito.

Pasal 8 UU Pers menyatakan, dalam menjalankan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum. Merujuk pada KUHP dan Pasal 18 UU Pers, pelaku kekerasan terancam hukuman dua tahun penjara atau denda Rp500 juta.

Komite Keselamatan Jurnalis juga menyoroti lemahnya tanggung jawab perusahaan dalam penanganan kasus kekerasan yang menimpa jurnalisnya. Menurut Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan yang telah diterbitkan Dewan Pers pada 2012, tanggung jawab utama penanganan kasus berada di tangan perusahaan pers.

Kelemahan tersebut tergambar dari 20 kasus kekerasan yang terjadi pada 21-22 Mei, hanya ada dua kasus yang dilaporkan kepada kepolisian. Sementara, 18 kasus lainnya tidak dilaporkan dengan berbagai pertimbangan dari perusahaan dan korban.

Secara tidak langsung, sikap perusahaan media dan jurnalis tersebut dinilai turut mendorong praktik impunitas terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Kendati demikian, Komite Keselamatan Jurnalis juga memaklumi jika ada jurnalis-jurnalis yang tidak berani melaporkan kasusnya dengan alasan takut dan tidak mendapat dukungan dari perusahaan media.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement