REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Society against Radicalism and Violent Extremism (Serve) Indonesia, Dete Aliah mengatakan, teroris kerap melancarkan aksinya ketika ada peristiwa penting. Misalnya, pada tahun 2018. Saat itu, kata dia, jumlah aksi teror meningkat drastis, bertepatan ketika Indonesia sedang menghelat Asian Games 2018.
"Mereka menganggap apabila ada momen itu akan memberikan nilai lebih pada aksi mereka. Banyaknya tahun 2018 (teroris yang ditangkap) karena ada momen Asian Games," kata Dete dalam diskusi dan peluncuran buku Memberantas Terorisme di Indonesia: Praktik, Kebijakan, dan Tantangan di Hotel Atlet, Jakarta Pusat, Selasa (20/8).
Hal itu, lanjut Dete, terbukti dengan meningkat drastisnya jumlah pelaku teror yang ditangkap pada tahun 2018, yakni 369 orang. Melonjak dua kali lipat dibandingkan tahun 2017, di mana hanya ada 172 pelaku teror yang diringkus pihak keamanan.
Dete pun meminta semua pihak untuk meningkatkan kewaspadaan pada saat ada momen-momen besar di Indonesia. "Ini juga mereka kadang memanfaatkan momen seperti Natal dan pergantian tahun," ucap Dete.
Menurut dia, meski pada tahun 2019 ini baru tercatat 68 orang pelaku teror yang ditangkap, tapi semua pihak harus tetap waspada. Karena aksi teroris ataupun penyebaran paham terorisme masih akan menjadi tantangan Indonesia dalam waktu yang panjang.
Sebab, kata dia, keluhan-keluhan para teroris itu masih belum berhasil diselesaikan. Dia mencontohkan seperti masih belum tuntasnya penanganan kasus korupsi dan kemiskinan di Indonesia.
Korupsi, sambung dia, memang menjadi salah satu narasi para teroris dalam melakukan perekrutan. Selain itu, ketidakadilan juga dijadikan narasi untuk mencari rekrturan baru.
Oleh karena itu, sambung Dete, motif orang menjadi teroris tak melulu soal idiologi. Sebab, motif ekonomi, politik dan sosial ikut mempengaruhi.
"Tapi idiologi tetap memegang peranan, karena tidak mungkin orang mau mati tanpa ada pemahaman tertentu. Semisal rewards bahwa mereka akan masuk surga setelah mati," ujarnya.