REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan kornologi suap Rp 1,2 miliar terkait penyalahgunaan izin tinggal di Kantor Imigrasi Kelas I Mataram. Terungkap, transaksi suap miliaran rupaih itu menggunakan salah satu tong sampah di Kantor Imigrasi Mataram.
Jaksa Taufiq Ibnugroho mengatakan, penyerahan uang dilakukan pada 24 Mei 2019 dalam dua tahap. Pertama, Rp 725 juta dimasukkan dalam tong sampah depan ruangan Kepala Seksi Inteldakim Mataram Yusriansyah Fazrin. Kedua, Rp 473 juta diberikan dengan cara yang sama.
"Untuk sisanya Rp 2 juta diserahkan di bandara ketika kedua WNA (penyuap) akan dipulangkan," kata Taufiq dalam sidang dakwaan pemilik saham Hotel Wyndham Sundancer Resort Lombok, Liliana Hidayat, di Pengadilan Tipikor Mataram, Rabu (21/8).
Liliana didakwa menyuap Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Mataram, Kurniadie, sebesar Rp 1,2 miliar. Suap itu diberikan melalui Yusriansyah, pesuruh Kurniadie.
Suap itu berawal dari adanya laporan keberadaan orang asing yang beraktivitas di Hotel Wyndham Sundancer Resort Lombok. Kemudian, pada 1 Mei 2019 petugas imigrasi, yakni Ayyub Abdul Muqisth, I Made Muniarta, dan Yuning Kurniati, bertemu dengan Liliana, manajer hotel Joko Haryono, Manikam Katherasan, Geoffery William Bower, dan Michael Burchett di hotel tersebut.
Dari pemeriksaan, Manikam Katherasan asal Singapura dan Geoffery William Bower asal Australia terbukti menyalahgunakan izin tinggal dengan menggunakan visa bebas kunjungan. Esok harinya, kedua WNA didampingi manajer hotel datang ke Kantor Imigrasi Kelas I Mataram untuk pemeriksaan lanjutan. Keduanya dinyatakan melanggar aturan keimigrasian.
Namun, karena keduanya sedang sakit, penahanan dibatalkan. Keduanya pun diminta kembali ke kantor imigrasi pada 3 Mei 2019. Terdakwa Liliana Hidayat kemudian meminta kuasa hukum keduanya, Ainuddin, menemui Kasi Inteldakim Mataram Yusriansyah Fazrin dan meminta bantuan penyelesaian masalah itu.
Yusriansyah mengatakan, imigrasi akan mencari cara penyelesaiannya dengan menunggu keputusan Kepala Imigrasi Kelas I Mataram, Kurniadie, yang sedang di luar kota. Pada 4 Mei 2019, Liliana bersama kedua WNA, penasihat hukum, dan juga Joko Haryono bertemu. Kedua WNA meminta Liliana menyelesaikan masalah itu dengan memberikan uang kepada pihak imigrasi.
"Kemudian, pada 15 Mei 2019, terdakwa menemui Kurniadie di ruangannya atas bantuan Dewa Putu selaku kepala Biro Ops Polda NTB dan meminta tolong agar dapat dibantu menyelesaikan permasalahannya," kata jaksa Taufiq.
Dari pertemuan tersebut, Kurniadie memerintahkan terdakwa untuk menyelesaikan persoalannya dengan Yusriansyah. Agar kasusnya hanya diberikan sanksi administratif berupa deportasi, harga Rp 1,2 miliar disepakati. Terjadilah penyerahan uang tersebut pada 24 Mei 2019 di Kantor Imigrasi Kelas I Mataram. Sementara itu, dua WNA tersebut dideportasi.
Setelah mendengar dakwaan, Liliana mengajukan diri sebagai justice collaborator. Surat pengajuan diri Liliana diserahkan oleh penasihat hukumnya, Maruli Rajagukguk, ke majelis hakim. "Nanti hakim saja yang mempertimbangkan. Tapi, yang pasti kita di sini akan kooperatif. Apa yang ditanyakan dalam sidang akan kita sampaikan," kata Maruli seusai sidang.
Sementara itu, ketua majelis hakim Isnurul Syamsul Arif mengatakan, majelis hakim akan mempertimbangkan pengajuan JC Liliana selama proses persidangan. Jaksa I Wayan Riana juga menyatakan JPU KPK akan mempertimbangkan langkah Liliana. "Kita lihat nanti apakah dia bisa mengungkap asal-usul uang itu dari mana. Kalaupun iya, nantinya akan kita pertimbangkan," kata dia. n antara ed: ilham tirta