REPUBLIKA.CO.ID, GROBOGAN -- Menurut warga, area tambak garam Jono dengan luas sekitar tiga hektare itu sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Pada tahun 1970-an, jumlah petani garam Jono mencapai ratusan dan saat ini hanya tersisa puluhan. Warga terpaksa meninggalkan profesi tersebut karena hasil yang didapatkan dari petani garam tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Banyak diantara mereka yang lebih memilih mencari pekerjaan lain, akibatnya tidak ada regenerasi.
Selain menjadi tempat produksi garam, desa Jono juga banyak dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah. Mereka penasaran untuk sekedar melihat proses pembuatan garam langka ini serta menjadi objek penelitian sejumlah mahasiswa dari Perguruan Tinggi di Solo dan Yogyakarta.
Saat ini hanya tersisa enam sumur dan kondisinya mengalami pendangkalan dan penyempitan. Kekhawatiran lain dari petani garam adalah ambrolnya sumur-sumur itu. Mereka berharap pemerintah memperhatikan keberadaan tambak garam yang unik dan langka itu agar produksi garam Jono tetap berjalan dan regenerasi tidak putus.