REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel Capim KPK) 2019 kembali melakukan tes wawancara dan uji publik terhadap tujuh kandidat komisioner KPK pada Rabu (28/8). Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung, Johanis Tanak, mendapat giliran pertama dalam uji publik dan wawancara tersebut.
Dalam wawancara, anggota Pansel Capim KPK, Hendardi, menanyakan kepada Johanis ihwal kesulitannya menangani perkara korupsi selama menjadi aparat penegak hukum. Johanis pun mengungkapkan dilema terberat yang ia hadapi saat menangani perkara korupsi yang menjerat mantan Gubernur Sulawesi Tengah Bandjela Paliudju.
"Saya waktu itu Kajati Sulteng, saya menangani kasus Mantan Gubernur. Kasusnya sudah memenuhi unsur pidana korupsi. Saya dipanggil Jaksa Agung HM Prasetyo," ungkap Johanis.
Saat dipanggil, Johanis langsung diberitahu Prasetyo bahwa Bandjela merupakan Ketua DPW dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Mendengar pernyataan Prasetyo, Johanis langsung mengatakan, atasannya tersebut tak layak menjadi Jaksa Agung karena diusul oleh golongan partai.
"Saya langsung bilang mungkin ini momen yang tepat untuk bapak buktikan menegakkan hukum dan keadilan. Beliau langsung katakan, oh iya betul juga," tutur Johanis.
Setelah itu, Prasetyo memberikan izin kepadanya untuk terus memproses Bandjela. Mantan Gubernur Sulawesi Tengah itu dianggap merugikan negara Rp 8 miliar karena penggunaan dana pos biaya operasional gubernur yang tidak disertai bukti valid.
Johanis juga mengungkapkan, permasalahan dan kesulitan besar yang dimiliki Jaksa yakni integritas yang kurang. Oleh karena itu, masih banyak jaksa yang melakukan tindak pidana korupsi.
"Kalau punya integritas tidak mungkin melakukan. Saya sering ditawarkan. Tapi saya tidak terima," ujarnya.