Rabu 28 Aug 2019 15:10 WIB

Menikmati Malioboro yang Bebas Kendaraan Bermotor

Malioboro dipenuhi dengan berbagai atraksi kesenian dan kebudayaan.

Rep: Silvy Dian Setiawan/my28/ Red: Fernan Rahadi
Ujicoba Semi Pedestrian Malioboro. Warga menikmati suasana hari bebas kendaraan bermotor saat uji coba semi pedestrian Malioboro di Yogyakarta, Selasa (27/8/2019).
Foto: Republika/ Wihdan
Ujicoba Semi Pedestrian Malioboro. Warga menikmati suasana hari bebas kendaraan bermotor saat uji coba semi pedestrian Malioboro di Yogyakarta, Selasa (27/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kawasan Malioboro yang ditetapkan bebas kendaraan bermotor atau full pedestrian hari Selasa Wage bisa menjadi bentuk destinasi baru yang ditunggu tiap 35 hari sekali oleh para wisatawan maupun warga Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Keramaian terlihat jelas dimana banyak pejalan kaki menghabiskan waktunya dengan menikmati suasana Jalan Malioboro tanpa adanya gangguan kendaraan. 

Pelaksanaan uji coba Selasa (27/8) kemarin malam disambut baik oleh masyarakat. Apalagi dengan hadirnya berbagai pertunjukan seni dan budaya sejak pukul 14.00 sampai dengan 21.00. Hal itu menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk berdatangan.

Salah satunya Budi, seorang warga asal Magelang. “Sangat setuju (dengan pemberlakuan full pedestrian Malioboro-Red). Dengan keadaan seperti ini justru lebih baik," ujarnya kepada Republika. 

Menurutnya, dengan pemberlakuan full pedestrian membuat kawasan tersebut bebas dari polusi.  Selain itu, pengunjung maupun warga juga menjadi lebih nyaman menikmati kesenian yang ada. 

"Saya sendiri tidak masalah dengan ditiadakannya keberadaan PKL di sekitar Kawasan pedestrian Malioboro," kata Budi menambahkan, mengomentari ketiadaan warung-warung yang biasanya menempati trotoar pejalan kaki.

Pengunjung lainnya, Muhammad Suhodo juga mengajak anggota keluarganya menelusuri Malioboro. Ia yang merupakan warga asli Yogyakarta ini memanfaatkan momen saat full pedestrian ini agar dapat menikmati Malioboro tanpa kendaraan bermotor.

"Di sini bisa jalan kaki sambil bawa anak mengelilingi Malioboro," katanya.

Namun diliburkannya pedagang kaki lima saat Selasa Wage membuat berkurangnya pengunjung yang datang ke Malioboro. Sebab, pedagang kaki lima juga menjadi ciri khas dari Malioboro sejak dulu.

"(Pedagang kaki lima) Tidak apa-apa diliburkan. Tapi, kawasan wisata itu ramai karena ada pedagang kaki limanya," ujar Suhodo.

Selasa malam itu, kawasan Malioboro dipenuhi dengan berbagai atraksi kesenian dan kebudayaan, antara lain penampilan Keroncong Nahoga, talkshow musik, baca puisi, musik etnik, serta masih banyak lagi. Para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan acara tersebut menyambut baik dan antusias menampilkan kebudayaan serta kesenian mereka masing-masing. 

Pantauan Republika, saat memasuki Jalan Malioboro beberapa meter saja, kita akan menemukan penampilan kesenian dan kebudayaan tersebut. Salah satunya, penampilan Keroncong Nahoga di Grand Inna Malioboro. 

Pimpinan Grup Keroncong Nahoga, Antonia Nurwanti, menyatakan pihaknya mendukung sekali diterapkannya full pedestrian di kawasan tersebut. Kebijakan tersebut menurutnya adalah wujud apresiasi serta hiburan kepada para pedestrian. Terlebih warga sekitar maupun pendatang yang haus akan hiburan bisa berdatangan ke Malioboro dan menyaksikan suasana yang berbeda dari sebelumnya.

Selain itu juga ada penampilan musik etnik dari UPT Malioboro. Penampilan sebanyak 10 penari menggunakan alat musik dari berbagai daerah tersebut cukup menarik perhatian para pengunjung yang memadati Malioboro.

Sementara itu, Komunitas Capung memanfaatkan full pedestrian di Selasa Wage dengan bersepeda mengelilingi kawasan Malioboro. Sekitar 100 anggotanya yang merupakan karyawan di toko-toko Malioboro mengikuti kegiatan ini.

Ketua Komunitas Capung, Teguh Romaji mengatakan, setiap Selasa Wage ia dan anggotanya rutin melakukan kegiatan. Kegiatan bersepeda ini tidak hanya untuk meramaikan jalan Malioboro saat full pedestrian.

Namun, kegiatan ini dilakukan juga dalam rangka memperingati kemerdekaan Indonesia yang ke-74. "Sepeda ini kita lakukan menyambut acara 17-an. Ini kita rayakan pas barengan (Selasa) Wage," kata Teguh.

Teguh pun menyambut baik dengan diterapkannya full pedestrian ini. Sebab, kegiatan pengunjung di Malioboro tidak diganggu oleh kendaraan bermotor. Sehingga, pengunjung pun dapat menikmati Malioboro dengan bebas dan leluasa. "Untuk pengunjung dan masyarakat lebih bisa bebas, ada yang bersepeda dan ada yang jalan kaki," kata Teguh.

Menurutnya, hal ini membawa budaya Yogyakarta yang istimewa kepada masyarakat luas. Terlebih, Malioboro memang menjadi ikon Yogyakarta yang dikenal tidak hanya wisatawan lokal. Namun juga wisatawan mancanegara.

Dengan dimanjakannya pejalan kaki di Malioboro, menurut Teguh, hal itu merupakan perubahan yang diharapkan baik warga maupun pengunjung sejak dulu. Bahkan itu merupakan mimpi lama yang baru terwujud saat ini. "Baru ada perubahan dari dulu sampai sekarang. Sekarang masyarakat semakin condong ke Malioboro," ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement