REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur mangkrak. Untuk itu, ia mengusulkan kepada Jokowi untuk mengkaji ulang rencana pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur.
Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, menitikberatkan masukannya kepada Jokowi terkait luas lahan yang akan digunakan untuk membangun ibu kota baru. Menurut Emil, luas area ideal untuk membangun ibu kota baru berkisar antara 17.000 hektare hingga 30.000 hektare.
Emil berkaca pada ibu kota Brazil, Brasilia, yang juga hasil 'pindahan' dari Rio de Janeiro pada 1960 silam. Emil menyebut Brasilia dianggap tidak berhasil berfungsi sebagai ibu kota oleh Universitas Harvard dan media cetak New York Times.
"Jangan sampai kita sibuk dengan cara seperti itu, 50 tahun setelahnya mangkrak. Saya mengingatkan saja agar kita merencana jauh lebih matang dan lebih baik. Masukan dari masyarakat juga diterima," kata Emil usai menemui Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (28/8).
Arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut juga mengingatkan Presiden Jokowi agar tidak membangun kota baru yang kembali berorientasi mobil. Menurutnya, desain perkotaan di masa depan adalah kota-kota yang berorientasi jarak dan fungsi, alias fasilitas publik dan perkantoran yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
"Kantor, rumah, sekolah harus berdekatan, jalan kaki. Kalau kepepet baru public transport, terakhir baru mobil. Jangan dibalik. Jangan mendesain ibu kota baru yang mayoritas untuk mobil, untuk bangunan, tapi kemanusiaan, humanistiknya tidak maksimal," jelas Emil.
Emil memilih untuk berkiblat pada Washington DC, ibu kota pemerintahan Amerika Serikat (AS). Kota tempat Presiden AS berkantor ini dianggap paling ideal untuk dijadikan contoh ibu kota pemerintahan.
Jika dikorelasikan dengan Indonesia maka ibu kota baru di Kaltim nanti akan berperan layaknya Washington DC. Sementara, Jakarta akan berfungsi seperti New York sebagai pusat bisnis dan ekonomi.
"Dari seluruh ibu kota yang dipindah dalam sejarah perkotaan, yang terbaik itu Washington DC. Orang bisa jalan kaki, jam 17.00 kantor tutup masih ramai, jangan sampai kejadian dengan ibu kota baru lain, malam hari sepi," jelas Emil.
Emil menekankan kota baru harus dibangun memperhatikan sisi humanisme penghuninya. Kota baru, kata dia, harus memiliki fasilitas penunjang seperti pusat ritel hingga pemukiman yang dibangun tidak jauh dari perkantoran. Menurutnya, lahan yang disiapkan sebagai calon ibu kota baru seluas 180 ribu hektare terlampau berlebihan.
"Hidup di kota bukan hanya urusan kerja, tetapi percampuran kegiatan kemanusiaan harus ada. Kalau pakai teori Washington DC, sekitar 17 ribu hektare. Maksimal 30-an ribu hektare. Itu sudah cukup. Nggak usah 180 ribu hektare," katanya.