Senin 02 Sep 2019 07:00 WIB

Mandiri Group Gandeng Fintech Atasi Shadow Banking

Keberadaan fintech ilegal bisa menjadi cikal bakal praktik shadow banking.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Fintech Lending. Ilustrasi
Foto: Google
Fintech Lending. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Senior Vice President Retail Deposits Product & Solution Bank Mandiri Muhamad Gumilang mengatakan, berbagai upaya kolaborasi antara perbankan dengan perusahaan financial technology (fintech) terus dilakukan. Tidak hanya untuk meningkatkan inklusi keuangan di tengah masyarakat Indonesia, juga mengantisipasi praktik perbankan maya atau shadow banking.

Gumilang mengatakan, Bank Mandiri juga secara aktif melakukan eksplorasi untuk bisa mencari potensi celah kolaborasi lain dengan platform-platform fintech. "Terutama dilakukan melalui Mandiri Capital Indonesia (MCI), arms length Mandiri Group di sisi venture capital," tuturnya ketika dihubungi Republika, Ahad (1/9).

Baca Juga

Gumilang menjelaskan, MCI juga melakukan penanaman modal di beberapa fintech yang dianggap memiliki potensi besar dan bisa dikolaborasikan dengan bisnis Mandiri Group. Di antaranya dengan Investree, Amartha, Coin Works, dan sebagainya.

Di sisi lain, Gumilang menambahkan Bank Mandiri juga secara selektif berkolaborasi dengan beberapa platform fintech untuk melakukan fasilitas lain. "Misalnya, pembiayaan langsung ke partner," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech (Aftech) Ajisatria Suleiman menyebutkan, skema shadow banking atau ponzi di Indonesia sebenarnya sudah dihalau melalui regulasi yang sudah ada. Dalam hal ini adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Ajisatria mengatakan, regulasi itu akan menyulitkan munculnya fintech ilegal yang menjadi cikal bakal praktik shadow banking. Tidak hanya perusahaan Indonesia, fintech ilegal asal China ataupun negara lain yang ingin datang ke Indonesia akan sulit beroperasi. "Minim celah untuk menipu," ucapnya.

Di sisi lain, Ajisatria menambahkan, fintech juga menjalin kerja sama dengan perbankan untuk menekan potensi shadow banking. Ia tegas mengatakan, bisnis fintech tidak bertabrakan dengan perbankan dan jasa keuangan lainnya. Justru, kedua pihak dapat menciptakan simbiosis mutualisme.

Perbankan dan fintech dinilai Ajisatria memiliki kelebihan masing-masing yang jika dikolaborasikan dapat meningkatkan kualitas inklusi keuangan maupun stabilitas perekonomian. Sementara perbankan memiliki basis data nasabah dan ragam produk keuangan yang luas, fintech dapat menjadi kanal untuk mempermudah nasabah akses ke produk tersebut. "Banyak cara untuk kolaborasi," katanya.

Sebelumnya, laporan Konsultan McKinsey & Company bertajuk ‘Signs of Stress: Is Asia Heading Toward A Debt Crisis?’ menyebutkan, risiko ketergantungan pada lembaga keuangan maupun lembaga keuangan non bank (shadow banking) untuk memperoleh pinjaman kini semakin tinggi di Asia. Kondisi ini menunjukkan, sistem keuangan di Asia mulai menunjukkan kerentanan.

Risiko tersebut juga disebut McKinsey sebagai salah satu indikator yang membuat adanya tekanan di seluruh Asia. Indikator lainnya adalah kinerja perusahaan di sektor riil yang sulit dalam melunasi utang negara. Kemudian, tingginya porsi modal asing yang masuk ke negara-negara di Asia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement