Rabu 04 Sep 2019 17:43 WIB

Pemindahan Ibu Kota Perlu Empat Jenis Regulasi

Pemerintah harus sampaikan kajian dasar hukum pemindahan ibu kota dengan transparan.

Rep: Dian Erika Nugraheny / Red: Ratna Puspita
Pemindahan ibu kota (ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Pemindahan ibu kota (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah setidaknya perlu menyusun empat jenis regulasi sebagai dasar hukum pemindahan ibu kota negara. Pemerintah juga harus menyampaikan kajian dasar hukum soal pemindahan ibu kota secara transparan.  

"Pertama Undang-undang (UU) khusus soal penetapan Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai ibu kota negara dan mencabut DKI Jakarta sebagai ibu kota," ujar Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, kepada wartawan di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (4/9). 

Baca Juga

Kedua, yakni UU soal perubahan UU DKI Jakarta, yang nantinya mencabut kekhususan kota tersebut menjadi daerah otonom biasa. Ketiga, mengubah UU soal pembentukan provinsi Kaltim dari daerah otonom menjadi daerah khusus sebagaimana DKI Jakarta sebelumnya.  

Keempat, lanjut dia, mengubah UU lembaga negara yang terlanjur berkedudukan di ibu kota negara. Dia mencontohkan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang berada di ibu kota negara. 

"Padahal kan kita lihat mereka kan katanya akan tetap di Jakarta sebab akan dijadikan pusat bisnis dan ekonomi," ungkapnya.  

Bayu mengingatkan agar pemerintah membahas dasar hukum pemindahan ibu kota ini secara transparan. Secara khusus, dia menyebut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) harus lebih terbuka menyampaikan berbagai kajian aspek hukum.  

Bayu menyebut kajian aspek hukum pemindahan ibu kota masih sangat kurang. "Indikasinya, bisa dilihat dari naskah akademik tidak ada, RUU-nya mana? Apa yang nanti mau diajukan. Kesannya hal tersebut belum (siap) atau bahkan jangan-jangan belum disusun, " tegasnya. 

Sebelumnya, berdasarkan survei Media Survei Nasional (Median) terhadap 1.000 orang responden menyebutkan sebanyak 45,3 persen tidak setuju dengan rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kaltim. Sementara itu, sebanyak 40,7 persen masyarakat menyatakan setuju dengan rencana ini. Kemudian, ada 14 persen masyarakat yang menyatakan tidak tahu.  

Berdasarkan survei yang sama, ada lima alasan yang membuat masyarakat tidak mendukung rencana pindah ibu kota. Pertama, masyarakat minta pemerintah menyelesaikan dulu persoalan ekonomi dan pengangguran (15 persen). 

Kedua, pengeluaran uang negara bisa semakin besar (14,2 persen). Ketiga ada persoalan di Papua (9,3 persen). Keempat, pembangunan lokasi baru ibu kota harus dari nol lagi dan membutuhkan biaya yang makin banyak (8,5 persen). Kelima lokasi pemindahan terlalu jauh (4,5 persen). 

Adapun lima alasan masyarakat yang menyatakan mendukung pemindahan ibu kota adalah karena pemerataan ekonomi (13,5 persen), mengurangi kepadatan penduduk di Jakarta (12,3 persen), ikut saja keputusan pemerintah (10,7 persen), mengurangi kemacetan di Jakarta (2,9 persen) dan membawa kepada perubahan yang lebih baik (2,7 persen). 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement