REPUBLIKA.CO.ID, MAJALENGKA – Keberadaan pesantren juga banyak ditemukan di Majalengka, Jawa Barat. Salah Satunya Pondok Pesantren Mursyidul Falaah.
Pesantren yang berada di Desa Leuwilaja Kecamatan Sindangwangi Kabupaten Majalengka itu kini memiliki santri mencapai 850 santri. Padahal, sejak awal didirikan hanya lima santri yang belajar di pesantren tersebut.
Pesantren ini didirikan KH Jaja Jamaluddin pada 1991. Usai menimba ilmu di beberapa pesantren termasuk di Raudhatul Thalibin Lengkong Kuningan dan Mursyidul Falaah Karawang, Kiai Jaja memutuskan pulang ke kampung halamannya.
Kala itu, Kiai Jaja membawa beberapa santri dari pesantren tempatnya menimba ilmu yakni Mursyidul Falaah Karawang. Di rumah sederhana miliknya, Kiai Jaja pun mengajar lima santrinya itu.
“Ini dulu semuanya kebun, saya pulang bersama teman-teman pesantren itu ikut ngaji di sini. Jadi rumah kamar depan itu (digunakan) santri, kamar kedua itu saya,” tutur Kiai Jaja saat berbincang dengan Republika,co.id pada Kamis (5/9).
Seiring waktu, santri yang mengaji pada Kiai Jaja pun bertambah. Dia kemudian mendirikan kamar santri dan masjid. Atas dorongan dari wali santri, Kiai Jaja pun mendirikan SMP pada 2007 dan SMK pada 2010.
“Ada juga warga sini yang malam saja mengajinya, ngalong. Terus berkembang-berkembang sampai seperti ini. Tapi tetap kita mempertahankan Salafnya,” kata Kiai Jaja.
Kemajuan Pesantren Mursyidul Falaah juga tak lepas dari kualitas belajar mengajar di pesantren. Di sini, santri fokus digembleng agar mampu membaca dan memahami kitab kuning. Tak hanya itu, santri harus mampu menjelaskan pada sesama santri lainnya.
Kemandirian
Di kalangan santri, roan sudah menjadi kegiatan yang biasa dilakukan sehari-hari. Roan adalah kegiatan bersih-bersih lingkungan pesantren yang dilaksanakan beramai-ramai.
Begitupun di Pondok Pesantren Mursyidul Falaah di Desa Leuwilaja Kecamatan Sindangwangi Kabupaten Majalengka, setiap pekannya santri mempunyai jadwal rutin membersihkan lingkungan pesantren bersama-sama.
“Kegiatan roan ini sangat positif sekali, kegiatan yang paling ikhlas dilakukan santri. Karena kalau diluar namanya bekerja nuntut ini itu, setiap keringat yang keluar harus ada (imbalan) yang masuk tetapi kalau santri dengar istilah roan sudah siap semua,” tutur pengasuh pesantren Mursyidul Falaah, ustaz Ahmad Hidayatullah saat berbincang dengan Republika,co.id pada Kamis (5/9).
Suasana Pesantren Mursyidul Falaah Majalengka. Republika/ Andrian Saputra
Namun di Ponpes Mursyidul Falaah, roan tak sekadar membersihkan lingkungan semata. Istilah roan juga digunakan para santri untuk turun langsung membantu pembangunan pondok.
Pesantren Mursyidul Falaah memang melibatkan santri dalam membangun fisik pesantren. Hal itu bertujuan agar santri dapat mandiri dan mempunyai kreativitas dan keahlian di bidang konstruksi.
“Ketika ada kerja bakti lainnya tidak hanya kebersihan, kita juga menggunakan istilah roan. Umpamanya ngecor bangunan, biar santri kreatif,” katanya.
Karenanya, beberapa santri Ponpes Mursyidul Falaah pun memiliki kemahiran dalam bidang konstruksi. Meski demikian, hal itu tak mengganggu jadwal para santri mengaji.
Di pesantren Mursyidul Falaah, para santrinya tak hanya digembleng dengan pelajaran-pelajaran kepesantrenan. Beberapa santri yang sudah lama mengaji di pesantren ini juga didorong untuk belajar budidaya ikan air tawar di kolam ikan yang ada di lingkungan pesantren.
Ada empat kolam yang digunakan para santri untuk budidaya ikan air tawar. Jika telah panen, ikan hasil budidaya itu dimanfaatkan untuk kebutuhan santri terlebih saat ada acara yang diselenggarakan pesantren. “Kita mengajarkan bagaimana santri belajar bekerja Ikhlas kalau sudah begitu mereka saat berkiprah di masyarakat akan ringan,” katanya.