REPUBLIKA.CO.ID, JEDDAH -- Dirjen Kerja Sama Multilateral selaku Utusan Khusus Menteri Luar Negeri pada Sidang Luar Biasa Tingkat Menteri Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Febrian A Ruddyard menegaskan, bahwa Indonesia menilai janji kampanye Israel terkait aneksasi wilayah Tepi Barat Palestina sebagai tindakan yang tidak mengindahkan hukum internasional. Febrian menegaskan pula bahwa rencana perdana menteri Benjamin Netanyahu sebagai bentuk nyata pelanggaran terhadap resolusi-resolusi PBB.
OKI menggelar sidang luar biasa tingkat menteri dua hari sebelum berlangsungya pemilihan umum (pemilu) di Israel, Ahad (15/9) untuk merespons pernyataan PM Netanyahu terkait rencana aneksasi sejumlah wilayah Tepi Barat Palestina. Resolusi DK PBB Nomor 2334 tahun 2016 secara jelas menyatakan bahwa perubahan terhadap garis batas tahun 1967 tidak diakui oleh DK PBB.
"Indonesia mengharapkan OKI dapat menyerukan kepada masyarakat internasional untuk dapat memberikan dukungan kepada Palestina dan tidak mengakui tindakan ilegal Israel, serta meminta tindakan Israel tersebut dapat dibahas dalam DK PBB," kata Febrian dalam rilis media yang diterima Republika.co.id, Senin (16/9).
Febrian mengatakan, rencana aneksasi Israel sangat terkait dengan isu hukum dan kemanusiaan. Proyek pembangunan permukiman di wilayah Palestina merupakan salah satu kendala terhadap progres negosiasi, serta menyebabkan pelanggaran terhadap hak asasi masyarakat Palestina.
"Indonesia meminta OKI dapat mencegah upaya Israel mengubah komposisi demografi di wilayah Palestina dan menjaga komitmen terkait solusi dua negara dengan dasar garis batas tahun 1967, prinsip self-determination bagi masyarakat Palestina, serta Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina," kata Febrian.
Pertemuan yang berlangsung selama satu hari tersebut dihadiri 8 menteri dari negara OKI. Dari sana, sidang menghasilkan komunike bersama yang berisikan kecaman kepada Israel dan dukungan kepada rakyat Palestina.