Kamis 19 Sep 2019 05:05 WIB

Wantim MUI Khawatir Dengan RUU KUHP

Wantim MUI menilai masih banyak pasal-pasal yang rawan disalahartikan dalam RUU KUHP

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agung Sasongko
Ustaz Didin Hafidhudin
Foto: ROL
Ustaz Didin Hafidhudin

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) khawatir dengan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Wantim MUI menilai masih banyak pasal-pasal yang rawan disalahartikan dalam RUU tersebut.

Wakil Ketua Wantim MUI, KH Didin Hafidhuddin mengatakan, pihaknya masih khawatir dengan RUU KUHP karena Komisi III DPR RI tidak datang memenuhi undangan Wantim MUI. Sehingga Wantim MUI tidak tahu perkembangan RUU KUHP sekarang, tapi mendengar ada kemungkinan RUU KUHP akan disahkan jadi UU pada 23 atau 24 September 2019.
 
"Karena itu kami dari Wantim MUI dan ormas-ormas Islam sebenarnya sudah menyampaikan rumusan-rumusan untuk penyempurnaan RUU KUHP ini, mungkin secara surat sudah disampaikan ke Komisi III," kata KH Didin kepada Republika usai Rapat Pleno Wantim MUI ke-43 di Kantor MUI, Rabu (18/9).    
 
Menurutnya, ada beberapa pasal dalam RUU KUHP yang rawan jika ditafsirkan. Misalnya pasal 480 ayat 1 dan 3 tentang kekerasan dan bukan kekerasan. Pertanyaannya apakah berlaku pasal kekerasan tersebut untuk suami-istri yang sah. 
 
Kemudian pasal tentang hubungan badan yang dilakukan secara suka rela. Apakah pasal itu berlaku untuk laki-laki dan perempuan yang sama-sama suka rela melakukannya meski belum menikah. Menurut dia, itu pasal-pasal yang sangat multi tafsir dan mendorong perbuatan yang menjurus pada perzinaan 
 
"Kemudian (hubungan badan) yang dilakukan tidak di depan umum, tidak secara terang-terangan dan ditempat tertutup, jadi hubungan seksual yang bukan suami-istri asal jangan di depan umum tidak dianggap perzinaan, itu hal-hal menurut saya rawan," ujarnya. 
 
KH Didin mengatakan, ada pasal 417 ayat 1 dan 4 yang membuka ruang dibiarkannya perzinaan jika tanpa ada yang melaporkan. Sebab menurut RUU KUHP baru bisa dibilang berzina jika ada pihak lain yang melaporkan ada pasangan yang melakukan perzinaan. Sementara jika tidak ada pihak yang melaporkan maka perzinaan tidak bisa dipidana.
 
Ia menerangkan, pasal-pasal yang ada di RUU KUHP itu semacam salinan dari UU LGBT di Kanada. Sehingga sangat membahayakan dampaknya. Tapi mudah-mudahan rumusan yang Wantim MUI sampaikan ke DPR dapat dibaca sehingga bisa memperbaiki RUU KUHP. "Maunya kita (pengesahan) RUU KUHP ini ditunda, kita harap masukan-masukan dari masyarakat bisa didengar (DPR)," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement