Ahad 22 Sep 2019 21:47 WIB

BPPTKG: Awan Panas Merapi Dipicu Tekanan Akumulasi Gas

BPPTKG menyebut awan panas letusan Merapi dipicu tekanan akumulasi gas.

Ilustrasi.
Foto: Antara/Aloysius Jarot Nugroho
Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menyebutkan awan panas letusan Merapi dengan tinggi kolom 800 meter pada Ahad (22/9) siang, dipicu tekanan akumulasi gas dari dalam yang meruntuhkan kubah lava gunung berapi itu.

Kepala BPPTKG Hanik Humaida melalui keterangan resminya di Yogyakarta, Ahad, mengatakan seiring dengan berlangsungnya suplai magma, gas vulkanik di Gunung Merapi diproduksi secara kontinu.

"Karena dinamika tekanan, gas dapat tersumbat dan terakumulasi di bawah kubah lava dan terlepas secara tiba-tiba, mendobrak kubah lava sehingga runtuh menjadi awan panas," kata dia.

Ia menjelaskan awan panas yang terjadi pada Ahad, pukul 11.36 WIB, dan terekam di seismogram dengan amplitudo 70 mm dan durasi 125 detik itu dengan jarak luncuran diperkirakan sejauh 1.200 meter.

Menurut dia, awan panas letusan berbeda dengan awan panas guguran (APG) yang biasa terjadi sejak 29 Januari 2019. Awan panas guguran disebabkan runtuhnya material kubah lava baru secara gravitasional atau tanpa kecepatan awal yang signifikan.

Awan panas kali ini, kata dia, didahului dengan letusan gas sehingga disebut sebagai awan panas letusan (APL).

Adanya peningkatan tekanan gas itu, kata Hanik, dapat terdeteksi stasiun pemantauan. Sejak pukul 00.00 WIB hingga 12.00 WIB terjadi 29 kali gempa multi phase (MP) dan 14 kali gempa embusan.

"Jumlah gempa MP dan embusan ini tergolong tinggi yang merepresentasikan peningkatan tekanan dan intensitas pelepasan gas vulkanik," kata dia.

Hal itu, lanjut dia, konsisten dengan data pemantauan suhu kubah lava sekitar satu jam menjelang letusan yang menunjukkan adanya kenaikan suhu di beberapa titik pada kubah lava sekitar 100 derajat Celsius.

Data pemantauan menurun dan tenang kembali setelah kejadian APL sampai dengan saat ini.

Akibat awan panas letusan itu, hujan abu tipis dilaporkan terjadi di sekitar Gunung Merapi dalam radius 15 km yang dominan di sektor barat daya. Untuk mengantisipasi gangguan abu vulkanik terhadap penerbangan maka VONA (Volcano Observatory Notice for Aviation) diterbitkan dengan kode warna oranye.

Hanik mengatakan baik APG maupun APL, keduanya masih akan terjadi karena suplai magma di Gunung Merapi masih berlangsung. Hal itu ditunjukkan oleh masih terjadinya gempa-gempa dari dalam, seperti gempa VTA, VTB, dan MP dalam jumlah yang signifikan.

Ancaman bahaya yang dapat ditimbulkan dari aktivitas erupsi saat ini, menurut dia, masih sama dengan sebelum-sebelumnya, yaitu luncuran awan panas dan lontaran material erupsi di dalam radius tiga kilometer dari puncak Gunung Merapi.

Ia menjelaskan hasil pemodelan menunjukkan bahwa kubah lava yang saat ini memiliki volume 461.000 meter kubik runtuh, sedangkan luncuran awan panas tidak melebihi radius tiga kilometer. "Masyarakat untuk tetap tenang dan beraktivitas seperti biasa," kata dia.

Masyarakat juga diminta tidak terpancing isu-isu mengenai erupsi Gunung Merapi yang tidak jelas sumbernya dan tetap mengikuti arahan aparat pemerintah daerah atau menanyakan langsung ke Pos Pengamatan Gunung Merapi atau kantor BPPTKG, atau melalui media sosial BPPTKG.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement