REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi, menyebut kondisi oksigen selama dua bukan terakhir sudah mengkhawatirkan di Sumatra dan Kalimantan. Jika hingga Oktober kemarau masih berjalan, krisis oksigen di daerah terdampak asap akan semakin parah.
"Sudah semakin mengkhawatirkan, dengan hal ini negara dirasa gagal, bahkan juga ikut serta menghalangi masyarakat untuk bernapas," ujar dia dalam orasinya di kantor eksekutif WALHI, Jakarta, Selasa (24/9).
Dia menekankan, jika panas masih berlanjut ketika kebakaran dan asap belum teratasi, maka dimungkinkan oksigen akan semakin berkurang di daerah terdampak. Oleh karena itu, pihaknya menuntut agar pemerintah bisa semakin mengupayakan penanganannya.
"Kami juga mendorong sesama masyarakat untuk saking membantu," Kata dia. Kebakaran hutan dan asap memang sudah terjadi sejak 22 tahun yang lalu. Namun sejak tahun 2015 dirasa memberikan efek yang tinggi.
"Dan periode 2019 ini ada kenaikan yang signifikan," Tutur dia.
Mengutip data satelit Terra Aqua dia memaparkan, peningkatan dari 2015 ke 2019 menunjukkan angka yang signifikan. Di mana jumlah peningkatan hotspot mencapai ratusan hingga puluhan ribu setiap bulannya jika dibandingkan periode 2015 lalu.
Menurut Zenzi, penyebaran hotspot memang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Namun demikian, Sumatra dan Kalimantan memiliki efek terparah, karena adanya ekosistem gambut yang rentan terhadap permasalahan tersebut.
"Terlebih karena banyaknya ekosistem yang dirusak dan gagalnya penambalan ekosistem itu sendiri," Tambah dia.
Mengingat dampak yang semakin meningkat itu, Zenzi menuntut pemerintah untuk menunjukkan kepekaan pada krisis. Hal tersebut juga untuk menyelamatkan masyarakat dari bahaya nyata yang mengancam.
"Karena jika kejahatan itu belum dihentikan, artinya ada niat dari pelakunya untuk mengulangi," ungkapnya.