REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Parni Hadi (pemimpin redaksi //Republika// 1993-1997)
Menjadi seorang menteri harus pandai, termasuk piawai menciptakan lelucon dan hiburan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Hiburan untuk diri sendiri perlu agar tidak stres. Maklum, tugas menteri bukan main banyaknya. Pokoknya, seorang menteri mesti manusia langka lagi beruntung.
Menteri Agraria Sofyan A Djalil termasuk kategori manusia jenis ini. Buktinya, dia telah beberapa kali diberi amanah sebagai menteri. Dia pernah menjabat menkominfo, menteri BUMN, menteri ekonomi keuangan dan industri (ekuin), serta kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Sebagai menteri agraria, Sofyan Djalil belum lama ini menyampaikan tekadnya untuk memberantas mafia tanah. Dia menyebut praktik mafia tanah mirip sebagai “pebinor.” Itu adalah singkatan dari ‘pencuri bini orang’. Dia mengungkapkan, banyak orang membeli tanah dan memiliki sertifikat yang sah. Namun, yang bersangkutan tidak mengurus, apalagi menggarap lahan yang telah dimilikinya itu.
Sofyan mengibaratkan mereka yang demikian sebagai laki-laki yang menikah resmi. Ada istri, ada surat nikah, tetapi si istri tidak pernah dijenguk. Mungkin pasangannya dianggap barang simpanan untuk dijenguk kapan-kapan sebagai hiburan selingan. Lantas, ada orang yang mencuri si istri dan membawanya pergi. “Pebinor” alias mafia tanah meliputi makelar, preman, ahli waris pemilik awal tanah, penasihat hukum, birokrat pemerintah, aparat penegak hukum, dan pengembang.
Memberantas "pebinor" tidak mudah karena terkait dengan banyak pihak. Pemilik tanah yang memiliki sertifikat itu ibarat suami yang mempunyai istri (lahan) dengan surat nikah (sertifikat) yang sah. Suami jenis ini punya andil dalam kerumitan pemberantasan mafia tanah.
“Ibarat menyelesaikan sengketa suami-istri yang sah, 'pebinor' jelas salah tapi suami juga lalai, lalu KUA (Kantor Urusan Agama) yang repot,” ujar Sofyan Djalil berseloroh, beberapa waktu lalu.
Suatu kali, dia bercerita menerima laporan bahwa sebagian kaveling para seniman atau budayawan Taman Ismail Marzuki (TIM) di wilayah Cikunir, Kota Bekasi, kini diklaim sejumlah mafia tanah. Namun, Menteri ATR tersebut menukas, “Jangan-jangan para seniman dan budayawan TIM dulu nikah siri ya?”
Lahan itu diketahui dibeli para seniman TIM pertengahan 1970-an. Sebagian pemilik kaveling sudah memegang sertifikat yang dikeluarkan kantor BPN Bekasi. Karena masalah internal Yayasan Karyawan TIM, rencana pembangunan Kampung Seniman terbengkalai. Akibatnya, sebagian pemilik menjual kavelingnya. Ditengarai telah terjadi pindah tangan beberapa kali dan sebagian sudah dibangun.
Menteri yang putra daerah Aceh ini tidak terlalu salah mengibaratkan BPN seperti Kantor Urusan Agama. Dalam batas tertentu, sosok yang dikenal saleh dan sering menjadi imam shalat ini mungkin betul adanya.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil.
Dompet Dhuafa punya beberapa pengalaman sewaktu mengurus sertifikat wakaf yang harus melalui KUA.
Di lapangan, mengurus sertifikat wakaf memang tidak mudah. Pasalnya, belum ada sinkronisasi kebijakan antara BPN, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama (Kemenag). Pimpinan KUA—sebagai ujung tombak Kemenag di daerah—umumnya belum mengetahui bahwa BPN telah mengeluarkan kebijakan untuk mempermudah proses sertifikasi lahan wakaf.
“Cukup datang ke BPN,” kata Sofyan kepada pimpinan Dompet Dhuafa yang berkunjung ke kantornya, beberapa waktu lalu.
Untuk diketahui, menteri tersebut ialah salah seorang tokoh pendukung awal Gerakan Satu Juta Wakif yang dicetuskan dalam Indonesia Wakaf Summit 2017—acara yang terselenggara atas prakarsa Dompet Dhuafa.
“Siap, Pak Kepala KUA (Kantor Urusan Agraria), eh Menteri Agraria”, jawab saya dalam hati. Usul-usil saja, BPN mungkin bisa juga jadi singkatan “Badan Pembina Nikah” untuk hindari “pebinor”. ed: hasanul rizqa