REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Assiddiqie menilai Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) harus disahkan dan tidak boleh ditunda. Dengan syarat sejumlah pasal yang dipersoalkan oleh publik harus dicoret.
“Realitasnya tuntutan masyarakat ingin Presiden bersikap dan harus jelas, karena yang mereka persoalkan adalah sepuluh pasal yang dianggap kontra produktif untuk demokrasi. Sesungguhnya RUU KUHP yang menjadi masalah adalah subtansi bukan proses. Karena proses tidak bermasalah karena sudah lama pembahasanya, bertahun-tahun bahkan sejak tahun 1963,” papar Jimly Assiddiqie dalam keterangan pers yang disampaikan kepada media, pada Selasa, (24/9) di Jakarta.
Guru Besar Hukum Tata Negara ini menambahkan, tidak tepat kalo RUU KUHP ditunda, tetapi tentu lebih tidak tepat lagi jika ditunda tanpa mempersoalkan subtansi, karena yang ditunggu oleh masyarakat adalah sikap tegas dan jelas dari Pemerintah mengenai subtansi. Karena sesungguhnya rancangan KUHP ini bukan inisiatif dari DPR, karena awalnya datang dari Pemerintah yang sudah membahas berkali-kali. Namun ironisnya saat ini Pemerintah minta ditunda karena alasan tekanan publik.
“Tidak ada alasan untuk menunda, karena sesungguhnya secara proses tidak ada masalah. Yang menjadi masalah persoalan subtansi. Langkah yang tepat menurut saya RUU KUHP tetap disahkan saja dengan mencoret sejumlah pasal yang dipersoalkan masyarakat. Karena jumlah pasal dalam KUHP ini hampir 800 dan banyak sekali. Jadi jika yang dicoret hanya 10, tidak ada masalah,” ujar Jimly yang digadang-gadang jadi calon pimpinan DPD RI periode 2019-2024, seperti dalam siaran persnya.
Jimly yang merupakan anggota DPD RI terpilih periode 2019-2024 memberikan solusi, jika nanti situasi sudah tenang baru pasal-pasal tersebut bisa disusun dalam bentuk undang-undang tersendiri, atau ditambahkan kembali di UU yang ada sambil diterangkan dan disosialisasikan. Biarlah Presiden Jokowi dan anggota DPR RI lainnya membuat sejarah karena telah menetapkan RUU KUHP. Alasan RUU KUHP ditunda karena butuh sosialisasi, jika pola pikir seperti itu yang berkembang berarti yang disalahkan masyarakat yang belum tahu.
Jika ditunda orang akan menilai Presiden setuju dengan masuknya sepuluh subtansi itu, padahal pasal tersebut dianggap menghambat demokrasi dan berbahaya bagi agenda demokratisasi. Pasal-pasal dalam KUHP sudah sangat matang, kecuali yang masih kontroversial.
Terlebih dalam perkembangannya pihak Pemerintah bersikeras untuk mempertahankan sepuluh pasal yang menjadi perhatian publik, namun ternyata saat ini mereka baru menyadari bahwa UU KPK sudah keburu disahkan. Akibatnya kemarahan kolektif masyarakat ditumpahkan ke UU KUHP, padahal marah awalnya dari RUU KPK.
“RUU KUHP harus diselamatkan, karena ini menjadi legacy bagi Presiden Jokowi dan semua anggota DPR yang membahasnya. Selama ini UU KUHP bersumber dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie, Revisi UU KUHP mencoba mencerminkan itu. Sesungguhnya pengesahan UU KUHP akan jadi sejarah. Jika ditunda, entah kapan selesainya,” pungkasnya.