REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Nasdem Taufiqulhadi tetap ingin pasal penghinaan terhadap presiden tetap dipertahankan di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Menurutnya, martabat seorang pemimpin negara harus tetap terjaga dari hinaan bersifat personal.
"Tidak boleh dia diserang dalam fitnah, menyerang harkat seorang kepala negara, itu tidak boleh. Itu bukan hanya untuk sekarang ini, tapi juga untuk presiden-presiden yang akan datang," ujar Taufiqulhadi kepada wartawan, Rabu (25/9).
Menurutnya, hinaan yang menyerang personal presiden bukanlah sebuah hal yang benar. Karena, martabat pemimpin negara seakan direndahkan oleh warganya.
"Kalau kita mengkritik kan jelas, mengkritik yang tidak personal. Tapi kalau itu adalah menghina dan menyerang personal itu berbeda, kita ingin lindungi martabatnya," ujar Taufiqulhadi.
Ia memastikan, bahwa pasal tersebut tak akan menghalangi masyarakat dalam mengkritik visi, misi, dan program presiden yang dinilai belum memuaskan. Karena, panitia kerja telah mengubah pasal penghinaan presiden menjadi delik aduan.
"Persoalannya dengan demokrasi, itu pun adalah delik-delik aduan. Presiden itu delik aduan mutlak absolut, artinya dia (presiden) sendiri yang harus melaporkan," ujar Taufiqulhadi.
Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan bahwa pasal penghinaan presiden yang terdapat dalam RKUHP tidak diperlukan. Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Erma Suryani Ranik, yang juga hadir dalam pertemuan di Istana Negara.
Namun Erma menjelaskan, pasal tersebut dibuat oleh DPR bukan sekedar untuk melindungi seorang Jokowi saja. Ia menyebut, pasal penghinaan presiden dibuat untuk melindungi kehormatan seorang pemimpin.
"Di rapat itu, Pak Presiden Jokowi secara khusus menyebut pasal penghinaan terhadap presiden, beliau mengatakan bahwa saya (Jokowi) sendiri tidak merasa perlu ada pasal itu," ujar Erma.
Polemik Penghinaan Presiden di RKUHP