Kamis 26 Sep 2019 18:49 WIB

Bom Udara AS Dipakai Saudi Serang Warga Sipil Yaman

Serangan Saudi menewaskan enam orang termasuk 3 anak di Yaman.

Rep: Lintar Satria / Red: Nur Aini
Sslah satu sudut kota di Yaman, usai perang.
Foto: Reuters
Sslah satu sudut kota di Yaman, usai perang.

REPUBLIKA.CO.ID, TAIZ- - Amnesty International merilis laporan yang menyebutkan koalisi yang dipimpin Arab Saudi pada perang Yaman menggunakan peluru kendali produksi Amerika Serikat (AS) dalam sebuah serangan Juni lalu. Serangan itu menewaskan enam orang termasuk tiga orang anak.

Kelompok hak asasi manusia tersebut menganalisis gambar foto puing-puing serangan, termasuk amunisi yang digunakan untuk menghantam pemukiman. Mereka menemukan peluru yang digunakan adalah bom udara GBU-12 Paveway II seberat 230 kilogram.

Baca Juga

"Tidak dapat diduga dan masuk akal AS terus mengirimkan senjata mengalir masuk ke Yaman yang hancur karena konflik," kata peneliti Yaman di Amensty International, Rasha Mohamed, seperti dilansir dari Aljazirah, Kamis (26/9).

Bom itu dijatuhkan pada 28 Juni lalu di Provinsi Taiz. GBU-12 Paveway II produksi perusahaan senjata AS yakni Raytheon. Satu unitnya seharga 21,896 dolar AS atau sekitar Rp 310 juta.

"Terlepas dari banyaknya bukti koalisi Arab Saudi dan Uni Emirat Arab telah berulang kali melakukan pelanggaran serius hukum internasional, termasuk kemungkinan kejahatan perang, AS dan negara pemasok senjata lainnya seperti Inggris dan Prancis tidak juga tergerak oleh rasa sakit dan kekacauan yang meluluhlantakan populasi warga sipil karena senjata mereka," kata Mohamed.  

Ada sebanyak enam warga sipil yang telah dalam serangan di desa Warzan, direktorat Khadir. Serangan itu menewaskan seorang perempuan berusia 52 tahun dan tiga orang anak yang berusia 12, sembilan dan enam tahun.

Dalam laporan mereka, Amnesty International mengatakan target militer yang mungkin diincar koalisi Arab Saudi berjarak 1 kilometer dari desa itu. Namun, objek militer yang sebelumnya digunakan sebagai Ruang Operasi Houthi sudah tidak lagi digunakan sejak serangan udara pada tahun 2016 dan 2017.  

Amnesty International mengatakan saat serangan terjadi saksi mata tidak melihat ada anggota subjek atau objek militer di sekitar pemukiman. Sekitar 15 menit setelah serangan pertama dilakukan serangan kedua menghantam lokasi yang diincar.

Tampaknya pilot ingin memastikan rumah yang diserang yakni sebenarnya rumah keluar al-Kindi benar-benar hancur. Rumah itu diserangan lagi lima hari kemudian saat anggota keluarga rumah itu sedang memeriksa puing-puing. Tidak ada yang terluka atau tewas dalam serangan kedua.

"Serangan ini menunjukan, sekali lagi, sangat dibutuhkannya embargo komprehensif semua senjata yang dapat digunakan oleh salah satu pihak yang bertikai," kata Rasha Mohamed.  

Mohamed mengatakan pelanggaran serius terus terjadi dihadapan para pengawal hak asasi manusia. Menurutnya, diperlukan badan penyelidikan seperti Group Eminent Expert milik PBB, yang memiliki kekuatanuntuk mendokumentasikan dan melaporkan pelanggaran-pelanggaran ini.

"Negara-negara pemasok senjata tidak dapat mengubur kepala mereka di dalam pasir dan berpura-pura tidak tahu resiko yang hubungan dengan senjata yang dikirim ke pihak yang secara sistematis melanggar hukum humaniter internasional dalam konflik ini," kata Mohamed.

"Sengaja menyerang warga sipil atau objek sipil secara langsung, melakukan serangan tanpa pandang bulu dan tidak proposional yang membunuh atau melukai warga sipil adalah kejahatan perang," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement