REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi kemanusiaan dan kegawadaruratan medis MER-C menyatakan menuduh ambulans membawa batu tanpa bukti kuat adalah sebuah kesalahan dan dapat merusak sistem yang berlaku di medan perang. "Menuduh ambulans bawa ini itu (batu) tanpa pemeriksaan ketat itu salah. Kalau pun ambulans bawa batu segala macam, senjata tajam, senapan, ambulans yang salah," kata Pembina MER-C Joserizal Jurnalis kepada Antara saat dikonfirmasi di Jakarta, Sabtu (28/9).
Jose menjelaskan, dalam aturan peperangan ambulans tidak boleh membawa senjata atau batu. "Tapi kalau ambulans tidak membawa, jangan dibilang bawa dong," kata Jose.
Ia mengatakan tuduhan itu dapat merusak sistem yang berlaku di medan perang yang akan merugikan aparat itu sendiri atau prajurit yang ada di medan perang. "Kalau di medan perang tidak ada yang mau mengevakuasi orang yang terluka bagaimana? Ini menyangkut sistem," kata dokter lulusan Universitas Indonesia tersebut.
Menurut dia, kalau di ambulans ada korban pengunjuk rasa yang terluka sedang mendapatkan perawatan medis ditemukan di dalam kantongnya senjata atau batu, hal itu biasa. Karena sudah tugas tim medis untuk menolong korban terluka sehingga aparat sebaiknhya tidak langsung menuduh ambulans membawa batu.
Tetapi jika dalam ambulans tidak ada korban, tapi terdapat senjata dan segala macamnya, aparat berhak melakukan penangkapan terhadap ambulans tersebut. "Kecuali ambulans itu ditodong isinya batu semua, boleh diproses hukum," kata Jose.
Jose mengatakan kericuhan 21-22 Mei menjadi pelajaran bagaimana aparat bertindak dalam mengatasi para pengunjuk rasa dan tim medis yang bertugas di lapangan. Sikap aparat dalam menangani aksi unjuk rasa dinilai represif dan berlebihan seperti dalam di medan perang.
Sementara dalam peperangan sekalipun ada aturan dalam Konvensi Jenewa. "Dari dulu sejak kejadian kericuhan 21-22 Mei saya sudah sampaikan, polisi bacalah Konvensi Jenewa jadi tahu bagaimana menangani tenaga medis, tokoh agama, tokoh masyarakat dalam sebuah peperangan," kata Jose.
Pemeriksaan terhadap tenaga medis dan ambulans oleh aparat boleh saja dilakukan misalnya di daerah konflik. Ia mencontohkan ketika bertugas di Afghanistan pernah disetop oleh petugas keamanan untuk pengecekan.
Pemeriksaan dilakukan sedetail mungkin sampai ke kolong mobil, hal itu biasa terjadi. "Itu sudah standar prosedurnya, tapi sebelum dicek mereka beri hormat dulu dan menyampaikan mau melakukan pengecekan, saya persilakan. Pengecekan itu perlu kalau dalam satu daerah peperangan," kata Jose.
Kejadian ambulans DKI Jakarta dan PMI, serta petugas media dibawa ke Polda Metro Jaya untuk pemeriksaan tanpa dipastikan kebenarannya adalah tindakan berlebihan. "Nah itu kejauhan, kan nomanya dicek dulu tidak langsung bawa," katanya.
Jose juga mengingatkan agar aparat menangani para demonstran tidak berlebihan dari penanganan di medan perang. Dan jika terjadi huru-hara, hendaknya petugas memprioritaskan ambulans untuk bergerak menolong orang atau korban tanpa ada hambatan.
"Ya kalau tidak ada ambulans korban terpaksa diseret," kata Jose.
Biar gak adalagi yang menduga hal-hal yang negatif tentang isi ambulans PMI, coba tengok dulu video ini. Jadi #ManaBatunya ? Gak ada kan? Yaiyalah! Kami kan bekerja dengan SOP yang ketat untuk memberikan pelayanan terbaik kami loh. 😊 🚑 #PMINETRAL pic.twitter.com/K8pa1iwLDM
— Indonesian Red Cross (@palangmerah) September 26, 2019
Seperti diberitakan sebelumnya, Polda Metro Jaya mengakui ada kesalahan terkait video viral ambulans milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PMI yang semula dicurigai mengangkut batu dan perusuh pada kericuhan di kawasan Pejompongan, Jakarta, Kamis dini hari. Kejadian berawal saat video viral melalui Twitter TMC Polda Metro Jaya menggambarkan dalam ambulans ditemukan batu dan bensin.
Saat itu, ada anggota Brimob yang bertugas mengamankan kericuhan dilempari batu oleh perusuh. Selanjutnya, perusuh itu membawa batu dan kembang api berlindung ke dalam mobil ambulans milik PMI dan Pemprov DKI.