REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir membantah, imbauan agar mahasiswa tak lagi melakukan aksi merupakan bentuk pengadangan terhadap kebebasan berpendapat.
Nasir mengaku, tidak pernah menghalangi siapa saja mengemukakan pendapatnya. Hanya saja, menurutnya, pernyataan pendapat tidak harus diekspresikan di jalan.
"Siapa yang menghalangi berpendapat? Berpendapat itu apa harus di jalan? Di kampus apa tidak bisa berpendapat? Kita tidak akan menghalangi mereka berpendapat? Bebas," kata Nasir di Surabaya, Rabu (2/10).
Nasir menyatakan, pihaknya akan memfasilitasi mahasiswa menyampaikan pendapatnya di kampus melalui forum yang disediakan. Aksi di jalanan, kata ia, justru akan memicu banyak hal di luar dugaan.
"Ini yang harus kita lakukan bukan berarti menghalangi. Berpendapat silakan. Mimbar akademik kita bangun, tapi dengan cara yang baik. Bukan berarti dengan kebebasan akademik menggangu orang lain," ujar Nasir.
Nasir menyatakan, ia terus membangun komunikasi dengan para rektor. Tujuannya agar para rektor mampu mengarahkan para mahasiwanya untuk kembali ke kampus dan belajar secara normal. Terkait tuntutan mahasiswa, kata Nasir, bisa didiskusikan langsung dengan mahasiswa.
"Mahasiswa kita ajak bicara, ajak diskusi bukan dilepas. Kalau dia lepas sendiri silakan tapi bukan tanggung jawab rektor," kata Nasir
Nasir menjelaskan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) sudah lama dibahas, namun baru kali ini ramai diperbincangkan. Pembahasan RKHUP, kata dia, adalah upaya Indonesia menasionalisasi produk kitab undang-undang warisan Belanda tersebut.
"Oleh karena penyesuaian mungkin tidak cocok mari kita diskusi. Maka saya minta rektor perguruan tinggi negeri, tolong pak rektor ajak mahasiswa berdiskusi dengan para dosen atau pakar pada bidangnya," ujar Nasir.