REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peniliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyindir tingkat kehadiran anggota DPR periode 2019-2024. Dia mempertanyakan komitmen anggota parlemen yang baru dilantik pada Selasa (1/10) itu untuk menjadi perwakilan rakyat yang sesungguhnya.
"Bagaimana mau mengembalikan kepercayaan publik jika sedari awal komitmen untuk kerja itu nyatanya tak bisa diperlihatkan melalui kehadiran dalam rapat-rapat?" kata Lucius Karus di Jakarta, Rabu (2/10).
Pernyataan itu dilontarkan Lucius menyusul minimnya kehadiran anggota dewan dalam rapat paripurna MPR RI untuk periode 2019-2024 yang digelar pada Rabu (2/10). Rapat yang seharusnya dihadiri anggota MPR dari DPD dan DPR hanya dihadiri setengah dari total anggota.
Ketua MPR sementara, Sabam Sirait bahkan tidak hadir dalam rapat paripurna tersebut. Wakil Ketua MPR sementara, Hillary Brigitta Lasut menyebutkan, berdasarkan catatan hadir yang disampaikan oleh sekretariat jenderal sampai saat ini telah hadir 376 anggota dari 711 anggota MPR.
Lucius menilai, anggota dewan itu telah mengabaikan komitmen Ketua DPR Puan Maharani yang ingin meningkatkan rendahnya tingkat kehadiran anggota DPR dan budaya titip absen saat rapat. Puan bahkan sudah berjanji akan mencari formula komitmen untuk hadir dalam tiap rapat.
"Padahal kemarin Puan Maharani baru saja menyentil soal kehadiran ini. Belum juga lewat sehari, komitmen Ketua DPR baru sudah berani diabaikan oleh anggota DPR," kata Lucius lagi.
Dia berpendapat, kelakuan malas yang dipertontonlan sejak awal itu akan menguatkan indikasi persepsi masyarakat untuk menyambut kelakuan lain seperti korupsi dan kinerja legislasi buruk. Dia mengatakan, hal itu terlihat pada anggota DPR periode sebelumnya yang saat ini juga menjadi primadona sebagian anggota.
Di saat yang bersamaan, dia menyoroti pengesahan Undang-Undang (UU) yang hanya dihadiri separuh dari peserta rapat paripurna. Menurutnya, rapat paripurna DPR belum pernah dihadiri lebih dari 100 orang dalam ruangan.
"Walaupun itu penuh ketika dibacakan daftar absensi dalam rapat paripurna," katanya.
Peneliti Kode Inisiatif Violla Reinindra menyebut jika anggota DPR saat ini memiliki sejumlah pekerjaan rumah yang harus dirampungkan. Sebut saja, RKUHP, RUU-PKS, RUU Minerba dan RUU lainnya yang sempat ditunda pengesahannya oleh anggota DPR periode 2015-2019.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Kode Inisiatif, DPR tidak pernah mampu merampungkan bahasan RUU yang masuk dalam prolegnas dari tahun ke tahun. Berdasarkan catatan itu, pada 2015 ada 40 RUU yang masuk dalam prolegnas namun hanya enam yang mampu direalisasikan dengan 12 butir UU terbentuk.
Pada 2016, ada 51 target prolegnas dan hanya delapan yang bisa direalisasikan dengan 12 UU terbentuk. Angka itu tak jauh berbeda pada tahun sebelumnya dengan 52 prolegnas dan hanya tujuh yang mampu direalisasikan dengan 12 UU terbentuk.
Pada 2018, ada 50 target prolegnas dimana hanya enam yang bisa di realisasikan dengan 11 UU terbentuk. Tahun berikutnya kinerja DPR seakan merosot dari 55 target prolegnas hanya tiga yang mampu direalisasikan dengan membentuk 11 UU. Artinya, selama lima tahun berjalan ada 248 RUU prolegnas dan hanya 30 saja yang dapat direalisasikan dengan menetapkan 58 UU.
Violla mengatakan, DPR periode 2015-2019 justu malah lebih memprioritaskan RUU yang tidak masuk dalam prolegnas untuk dibahas bersama pemerintah dan disahkan. Salah satu yang mendapat penolakan adalah Revisi UU nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Saya pikir DPR periode baru banyak sekali PR nya karena belum mulai juga sudah mewarisi beragam masalah," katanya.