REPUBLIKA.CO.ID, NASIRIYA -- Unjuk rasa di beberapa Provinsi Irak telah menelan korban, tujuh orang meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka, Rabu (2/10). Sepanjang dua hari unjuk rasa, total korban meninggal sebanyak sembilan orang dan ratusan luka-luka.
Laporan VOA News menyatakan, korban terus berjatuhan ketika pasukan keamanan menembakkan amunisi dan gas air mata untuk membubarkan pengunjuk rasa. Mereka melakukan aksi antipemerintah menuntut pekerjaan, meningkatkan layanan dan mengakhiri korupsi.
Sebelum jatuhnya korban meninggal sebanyak tujuh orang, sehari sebelumnya protes tersebut telah menelan dua nyawa di Baghdad dan Nasiriyah. Sedangkan lebih dari 200 terluka dalam Selasa.
"Hak untuk berdemonstrasi secara damai adalah hak mendasar di semua negara demokrasi, tetapi tidak ada tempat untuk kekerasan dalam demonstrasi dari pihak mana pun," tulis Kedutaan Besar Amerika Serikat di Baghdad melalui akun Twitter.
Unjuk rasa besar tersebut merupakan bentuk luapan kemarahan publik terhadap pemerintah Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi. Sedangkan menurut versi yang dikutip Aljazirah, Direktur Observatorium Irak untuk Hak Asasi Manusia mengatakan, tiga pemrotes dan satu polisi tewas di Nasiriya dalam bentrokan pada Rabu. Sedikitnya 78 orang juga terluka.
Untuk jumlah sembilan orang meninggal, Aljazirah menelusuri kabar tersebut didapatkan dari sumber-sumber medis dan keamanan. Hanya saja, angka itu tidak dapat diverifikasi secara independen.
Kepolisian menyatakan, pihak berwenang mengerahkan pasukan kontraterorisme di Nasiriya setelah polisi kehilangan kendali. Pertempuran senjata meletus antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan. Jam malam pun diberlakukan di Nasiriya dan dua kota selatan lainnya, Amara, dan Hilla.
Sementara itu, di ibu kota, Tahrir Square ditutup pada Rabu oleh tentara bersenjata berat dan puluhan polisi antihuru-hara, dengan beberapa demonstran berkumpul di tepinya. Ratusan pengunjuk rasa, termasuk lulusan universitas, telah berunjuk rasa di sana sejak sehari sebelumnya.
Profesor Hubungan Internasional di Universitas Mustansiriya di Baghdad Ali al-Nashmi menggambarkan protes terbaru sebagai aksi paling serius yang telah pernah terjadi di Irak. "Para pengunjuk rasa meningkatkan banyak slogan, mereka menginginkan pekerjaan, mereka ingin memerangi korupsi, mereka ingin listrik," ujarnya.
Dengan tujuan yang jelas, unjuk rasa tersebut lebih mencari kesejahteraan untuk masyarakat. Mereka, menurut al-Nashmi, tidak bisa digolongkan sebagai salah satu pengikut agama tertentu atau partai politik sehingga akan sulit mengendalikan atau bernegosiasi dengan mereka.
Para pengunjuk juga turun ke jalan-jalan di al-Shaab di Baghdad utara dan Zafaraniya di selatan. Polisi antihuru-hara pun berusaha membubarkan dengan gas air mata dan peluru tajam ditembakkan di udara.
"Saya keluar hari ini untuk mendukung saudara-saudara saya di Lapangan Tahrir," kata Abdallah Walid di Zafaraniya, tempat para pemrotes membakar ban di jalan-jalan yang dipenuhi kendaraan polisi.
Perempuan berusia 27 tahun ini menyatakan, masyarakat telah bertahun-tahun menuntut penyediaan lapangan kerja dan layanan publik yang lebih baik. Namun, pemerintah tidak pernah menanggapi tuntutan tersebut.
Pemerintah Irak juga sepertinya terkejut atas besarnya aksi unjuk rasa tersebut, termasuk cakupannya di media sosial. Kondisi itu pun akhirnya membuat pemerintah membatasi akses internet.
Observatorium penghambat internet Net Blocks mengatakan, cakupan internet telah terputus di sebagian besar wilayah Irak, termasuk Baghdad. Terjadi penurunan konektivitas hingga di bawah 70 persen.
Abdul Mahdi pada Rabu memimpin pertemuan darurat dewan keamanan nasional, yang kemudian mengeluarkan pernyataan menyesali kematian dan cedera di kedua kelompok selama protes Selasa. Dia menegaskan hak untuk protes dan kebebasan berekspresi.
"Dewan menegaskan hak untuk memprotes, kebebasan berekspresi, dan tuntutan sah para pemrotes, tetapi, pada saat yang sama mengutuk tindakan vandalisme yang menyertai protes," kata Abdul Mahdi, dikutip dari Aljazirah, Kamis (3/10).
Kementerian Pertahanan menyatakan, semua unit militer ditempatkan dalam siaga tinggi. Dalam sebuah pernyataan pada Selasa, Perdana Menteri telah menjanjikan pekerjaan bagi lulusan yang masih menganggur.
Dia menginstruksikan kementerian perminyakan dan badan pemerintah lainnya untuk mulai memasukkan kuota 50 persen untuk pekerja lokal dalam kontrak berikutnya dengan perusahaan asing. Menurut data Bank Dunia, pengangguran muda di Irak lebih dari 20 persen.
PBB menyatakan keprihatinannya atas kekerasan dan mendesak agar kondisi segera tenang. Perwakilan khusus sekretaris jenderal PBB untuk Irak Jeanine Hennis-Plasschaert menegaskan kembali dalam sebuah pernyataan hak warga untuk memprotes.
Presiden Irak Barham Salih di Twitter mengingatkan pasukan keamanan kalau protes damai adalah hak konstitusional. "Anak-anak muda Irak kami mencari reformasi dan pekerjaan, dan tugas kami adalah untuk memenuhi tuntutan yang sah ini," katanya.
Parlemen juga telah memerintahkan penyelidikan atas kekerasan yang dilakukan pasukan pengaman. Komite HAM Parlemen mengkritik pasukan keamanan atas penindasan terhadap demonstrasi.