REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti kasus pelajar yang mengikuti aksi unjuk rasa beberapa hari lalu. Menurut Ketua KPAI Susanto, hampir 40 persen pelajar yang hadir di lokasi demonstrasi telah terpengaruh ajakan di media sosial (medsos).
“Salah satunya yang membuat pelajar ikut demo, yaitu viral ajakan di media sosial. Itu memang kecenderungannya cukup tinggi, menginspirasi anak-anak ikut terlibat (unjuk rasa). Lalu, (pelajar) diajak oleh temannya agar disebut solidaritas,” ujar Susanto dalam jumpa pers di kantor pusat KPAI, Jakarta, Rabu.
Sebelumnya, demonstrasi yang terjadi di sekitar Gedung DPR-RI, Senayan, Jakarta, Senin (30/9), berujung ricuh. Aksi kericuhan bahkan berlangsung hingga Selasa (1/10) dini hari dan meluas ke beberapa lokasi di Ibu Kota. Kepolisian Daerah Metro Jaya pun menangkap ratusan orang pengunjuk rasa.
Susanto menegaskan, upaya yang komprehensif perlu dilakukan untuk mencegah para pelajar agar tidak ikut-ikutan demonstrasi. Menurut dia, anak-anak hanyalah korban karena teperdaya provokasi dan ajakan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.
Susanto mengatakan, KPAI bersama lintas sektoral membentuk Tim Terpadu Perlindungan Anak (TTPA) untuk mengadvokasi anak-anak yang terpapar unjuk rasa. Tim tersebut diketuai Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Nahar.
Salah satu fokus tim tersebut ialah mengumpulkan data anak-anak yang terlibat demonstrasi. Anak-anak yang mengalami masalah hukum akan diupayakan menerima diversi, yakni pengalihan penyelesaian perkara ke luar ranah peradilan pidana.
“Ada upaya jangka pendek dan panjang. Jangka pendek ini terkait kebutuhan saat ini. Sementara itu, jangka panjang nanti menindaklanjuti apa yang sudah ditangani,” ujar Nahar.
Kepala Bidang Penanganan Kejahatan terhadap Kekayaan Negara Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) Kombes (Pol) Adhi Satya Perkasa mengklarifikasi, penanganan terhadap para pelajar yang ditangkap kepolisian. Menurut dia, aparat hukum tidak pernah menghalangi para pelajar dari pihak keluarganya saat sedang diamankan.
“Justru kami ini menghubungi orang tua mereka masing-masing. Hanya saja, ada beberapa anak yang orang tuanya memang belum bisa dihubungi. Kami berharap orang tuanya bisa menjemput anaknya,” ucap Adhi Satya.
Dia juga mengaku tidak tahu soal video yang beredar di medsos tentang perlakuan aparat keamanan terhadap para pelajar saat aksi demonstrasi. Dalam video tersebut, petugas kepolisian ditengarai melakukan tindakan yang berlebihan kepada pelajar.
Adhi mengatakan, Propam Polri akan melakukan penyelidikan terhadap oknum-oknum kepolisian yang diduga menyalahgunakan wewenang. “Kami belum tahu informasi terkini karena video yang beredar dengan klarifikasi yang ada suka berbeda. Kami menunggu Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk kebenarannya,” ucap Adhi.
Dia menegaskan, sebagian pelajar yang ditangkap aparat keamanan sudah menerima diversi. Sebagian lainnya telah dikembalikan ke keluarga masing-masing.
Ratusan pelajar di Kota Depok yang diamankan hendak ikut demo sedang mendapat pengarahan Kapolresta Depok, AKBP Azis Andriansyah di Mapolresta Depok, Senin (30/9).
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diketahui akan mencabut hak penerimaan program bantuan pendidikan Kartu Jakarta Pintar (KJP) bagi pelajar yang mengikuti demonstrasi di sekitar Gedung DPR-RI beberapa hari lalu. Kebijakan itu akan berlaku bagi mereka yang terbukti melakukan tindakan kriminal.
“Kalau dia kriminal, bisa pemberhentian KJP-nya, tapi kalau sifatnya ikut-ikutan, kena sanksi dari Kepolisian, kita nasihati dan KJP-nya tetap jalan,” ujar Kepala Dinas Pendidikan DKI Ratiyono di Jakarta, Selasa.
Namun, sehari kemudian keterangan itu dibantah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. “Itu konsepnya salah kalau anak bermasalah dikeluarkan dari penerima KJP. Kalau begitu, siapa yang mendidik nanti? Jadi, saya tidak pernah menggariskan penghapusan KJP untuk anak bermasalah tersebut,” ucap Anies kepada wartawan di Kantor Wali Kota Jakarta Barat, Rabu.
Di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, kepolisian setempat berencana menjegal pengurusan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) bagi 17 pelajar yang mengikuti aksi massa beberapa hari lalu di bawah Jembatan Layang, Makassar. Awalnya, demonstrasi ini menyuarakan penolakan sejumlah kontroversi rancangan undang-undang (RUU) dan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi kemudian berujung kericuhan pada malam.
Langkah kepolisian itu ditentang lembaga masyarakat sipil Makassar. “Demonstrasi itu hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi sehingga tidak ada alasan polisi untuk tidak diberikan, dan itu (sanksi penjegalan SKCK) jelas terkesan intimidasi,” ujar staf LBH Pers Makassar, Firmansyah di Makassar, Selasa. n haura hafizhah/amri amrullah/antara ed: hasanul rizqa