REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Pengamat Sosial Budaya dari Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat, Dr Agnes Setyowati menyayangkan video-video yang menampilkan wajah pelajar sekolah menengah saat diamankan oleh pihak kepolisian beredar di media sosial. Menurutnya, hal ini tidak seharusnya terjadi, karena memiliki potensi berdampak pada psikologis anak.
"Pelajar sekolah menengah ini merupakan korban yang wajib kita lindungi dari ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab YANG ingin membuat suasana negara menjadi tidak kondusif serta memecah belah persatuan bangsa," ujar Agnes kepada Antara di Bogor, Jumat.
Menurut Agnes, pergeseran budaya demonstrasi yang mulai diminati pelajar harus disikapi secara bijak. Salah satunya dengan membangun budaya berpikir kritis.
"Pentingnya membudayakan sikap berpikir kritis di lingkungan pelajar, baik tingkat atas maupun menengah," ujar Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Pakuan ini.
Agnes mengatakan, membangun budaya berpikir kritis merupakan hal yang sangat penting. Tanpa itu, generasi muda di masa yang akan datang akan menjadi generasi yang mudah terprovokasi oleh hal-hal yang belum tentu benar.
Dalam konteks itu, menurut Agnes, orang tua, guru, dan semua elemen masyarakat harus bersama-sama mendidik dan membudayakan sikap kritis di kalangan generasi muda. Para pihak juga perlu memberikan pengetahuan tentang bagaimana menggunakan media sosial secara bijak serta meredam hoaks dan konten-konten lain yang berpotensi memecah persatuan bangsa.
Agnes berpendapat, kritik memang diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, demo juga diperbolehkan dan dilindungi dalam undang-undang.
"Akan tetapi kritik itu sendiri juga memerlukan wawasan dan pengetahuan yang memadai supaya kita tidak terjerumus dalam tindakan anarkis dan vandalisme serta berpotensi memecah persatuan bangsa," kata Agnes.
Ia juga menyesalkan lemahnya kontrol dari orangtua dan sekolah atas aksi pelajar turun ke jalan saat momentum penolakan RUU KUHP lalu. Menurutnya, orang tua dan sekolah secara ketat melakukan pengawasan terhadap mereka untuk tidak terlibat dalam aksi demo.
Di samping itu, Agnes mengaku prihatin melihat pelajar sekolah yang turun ke jalan untuk berdemonstrasi. Pasalnya, selain masih di bawah umur, secara akademik pelajar sekolah belum sepenuhnya dewasa untuk mengkritisi sistem bernegara. Agnes mencermati, sebagian besar dari pelajar tidak paham substansi dari aksi demo yang diserukan oleh mahasiswa.
"Banyak dari mereka bahkan menyatakan bahwa solidaritas antarteman dan konten pemberitaan di media sosiallah yang menggerakkan mereka untuk turun ke jalan," tuturnya.
Demo di gedung DPR/MPR RI Jakarta kembali dilakukan dalam sepekan terakhir ini. Tidak hanya mahasiswa di hampir seluruh wilayah Indonesia yang turun ke jalan untuk menyerukan penolakan terhadap RUU KUHP, UU KPK dan sejumlah undang-undang yang dinilai bermasalah.
Pelajar sekolah juga turut terlibat dalam aksi unjuk rasa tersebut. Sejumlah pelajar tersebut kemudian diamankan oleh polisi karena selain masih di bawah umur, mereka juga dilaporkan telah melakukan tindakan anarkistis serta vandalisme terhadap fasilitas-fasilitas umum.