Selasa 08 Oct 2019 10:05 WIB

Belajar Pindah Ibu Kota dari Kazakhstan

Hal terpenting dari pindah ibu kota adalah ketegasan mengambil keputusan.

Museum Astanagenplan Kazakhatan, yang memberikan gambaran desain Ibu Kota Kazakhstan, Astana atau Nursultan Nazarbayev.
Foto: republika/joko sadewo
Museum Astanagenplan Kazakhatan, yang memberikan gambaran desain Ibu Kota Kazakhstan, Astana atau Nursultan Nazarbayev.

REPUBLIKA.CO.ID, Laporan Joko Sadewo dari Kazakhstan

Presiden Joko Widodo telah mengumumkan secara resmi rencana pemindahan ibu kota negara. Rencananya ibu kota akan dipindahkan dari Jakarta ke kabupaten Kutai Kertanegara serta Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Sejumlah alasan digulirkan, mulai dari kemacetan, kepadatan penduduk, polusi, banjir, rawan bencana alam, dan sebagainya. Adapun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pun menyampaikan sejumlah alasan pemindahan. Mereka mengungkap tentang Jakarta yang sudah padat, kontribusi ekonomi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), Krisis ketersediaan air, hingga konversi lahan di Jawa mendominasi.

Usulan pemindahan ini kemudian memunculkan lagi prokontra. Tidak hanya di kalangan elit tetapi juga sampai ke masyarakat kelas menengah ke bawah.

Namun utamanya, alasan pemindahan lebih pada persoalan pemindahan ibu kota dianggap bukan hal prioritas. Masih ada persoalan kemiskinan, pengangguran, konflik di dalam negeri, dan sebagainya. Dan yang menjadi dorotan tentu saja anggaran memindahkan ibu kota yang angkanya sangat besar, mencapai Rp 466 triliun.

Polemik pemindahan ini juga menjadi perhatian sejumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Kebetulan DPD RI juga sedang menghadiri Pertemuan Parlemen Negara Eurasia di Astana, yang kini berganti nama menjadi  Nursultan Nazarbayev, ibu kota Kazakhstan.

Untuk diketahui, Kazakhstan termasuk negara yang sukses dalam memindahkan ibu kotanya. Sejak dibangun pada 1997 dan mulai menjadi ibu kota Kazakhstan pada sekitar 1999, Astana telah berkembang menjadi kota yang sangat modern di kawasan Asia Tengah.

Tidak hanya sukses berkembang sebagai kota yang maju secara ekonomi dan sosia, Astana juga banyak dihiasi dengan bangunan-bangunan indah yang memberikan kontribusi yang besar bagi kebudayaan dunia.

photo
Anggota DPD RI, yang dipimpin Damayanti Lubis (berjilbab), saat mengunjungi museum Astanagenplan yang menjelaskan perpindahan ibu kota Kazakhstan dari Almaty ke Astana, maupun tata kota Astana.

Anggota DPD RI, Damayanti Lubis yang saat kunjungan masih menjabat sebagai wakil ketua DPD RI dan memimpin delegasi DPD RI, mengatakan Indonesia bisa belajar dari Kazakhstan.

"Perkembangan penduduk, tata kota. Pemerintah bisa membuat regulasi agar tidak terjadi urbanisasi berlebihan, tinggi bangunan tidak boleh lebih dari 300 meter, dan sebagainya,” kata Damayanti saat mengunjungi museum pemindahan ibu kota Kazakhstan, Astanagenplan LLP.

DPD berharap bisa memberi masukan kepada pemerintah terkait dengan rencana pemindahan ibu kota. "Kunjungan ini memberikan banyak pelajaran dan referensi bagaimana Kazakhstan berhasil memindahkan ibu kota termasuk bagaimana perkembangannya saat ini," ujar Darmayanti.

Kepala Kereta Api, yang dulunya staf ahli Presiden untuk Pemindahan Ibu Kota Kazakhstan, Farid Gulinov mengatakan problem utama pemindahan ibu kota adalah persoalan psikologi. Hal ini karena karena ibu kota negara sudah lama eksis di sebelah selatan, yaitu Almaty.

“Di sana udaranya hangat lalu pindah ke wilayah yang udaranya dingin, banyak warga yang mempertanyakan untuk apa pindah?” ungkap Gulinov.

photo
Mantan staf ahli Presiden untuk Pemindahan Ibu Kota Kazakhstan Farid Gulinov, saat memberikan penjelasan terkait pemindahan ibu kota.

Permasalahan kedua, Kazakhstan merupakan pecahan dari Uni Soviet. Mereka telah diwariskan dengan struktur yang sudah ada.

“Namun Ibu kota di selatan (Almaty, Red)  terlalu dekat dengan negara lain di wilayah selatan. Kita harus pertimbangan keamanan negara dibandingkan pertimbangan psikologis,” ungkap dia.

Adapun pemindahannya ke Astana, menurut Gulinov, karena Astana karena berada di tengah-tengah. Walaupun agak di utara namun dekat ke Kazakhstan wilayah barat ataupun ke timur.

Kemudian juga persoalan kebutuhan suplai ibu kota baru. Mulai dari kebutuhan energi, industri, pangan. Ini harus diperhitungkan.

Gulinov menjelaskan pemindahan ibu kota merupakan persoalan yang komplek dan rumit. Untuk itu, perlu upaya yang terkonsolidasi dengan baik. Perlu sejumlah hal yang dilakukan secara bertahap.

"Jadi yang harus dilakukan adalah keputusan dulu, Kalau di Kazakhstan diputuskan oleh Majelis Tinggi Kazakhstan,” ungkapnya.

photo
Salah satu sudut kota Astana, Kazakhstan

Jika sudah dipindahkan, lanjutnya, barulah kemudian dilakukan penyiapan segala kebutuhan ibu kota baru. Mulai dari penyediaan gedung-gedung pemerintahan, tempat tinggal pegawai pemerintahan, jalan, infrastruktu lain, dan pengembangan-pengembangan lain yang harus dipikirkan. Jadi harus dilakukan secara bertahap.

Setelah diputuskan, presiden yang saat itu dijabat Nursultan Nazarbayev, mengeluarkan dekrit. Baru kemudian dibentuk tim yang dikepalai wakil PM, yang satu tim beranggotakan 30-35 orang.

"Mereka yang mempersiapkan semua, kecuali pendanaan.  Saat itu belum ada dana besar karena habis merdeka.  Jadi melalui dana nonbudgeter untuk pemindahan ibu kota ini,” kata Gulinov.

Untuk pertamakali persiapan dana yang keluar sekitar 30 miliar US dolar. Dari jumlah itu dana dari pemerintahan  sekitar 20 persen. 

“Ibu kota baru itu membutuhkan banyak uang, tapi pada saatnya dia bisa mandiri dan mengembalikannya. Proses ini dialami 4 hingga 5 tahun,” papar Gulinov.

Hal yang memudahkan Kazakhstan adalah tidak ada masalah dalam penyediaan lahan ibu kota. Semua tanah mayoritas dimiliki negara, kecuali ada beberapa tanah yang penguasaannya sudah diberikan pada asing. Misalnya ada master plan kota yang ternyata tanahnya sudah dikuasai asing.

Secara garis besar, Gulinov mengatakan sebenarnya persoalan pemindahan ibu kota itu hal yang biasa saja. Jepang sudah empat kali gonta-ganti ibu kota, Amerika tiga kali, Kazakhstan juga sudah empat kali, dan Rusia bahkan bolak-balik dari Moskow ke St Petersburg lalu ke Moskow lagi.

Direktur Astanagenplan Kazakhatan, Arseniy Pirozhkov, menjelaskan keputusan pindah ibu kota diambil pada tahun 1997. Pada 98 mulai proses pemindahan dan pada 2001 mulai proses pembangunan.

Prinsip tata kota yang dikembangkan, menurut Pirozhkov, adalah  keseimbangan antara alam dan industri. Mereka memperhatikan peruntukan area dengan sangat ketat. Termasuk memperhatikan bagaimana suplai kebutuhan pokok warga yang tinggal di ibu kota.

Menurut Pirozhkov, saat ini ada 123 titik pemukiman denham jumlah warga 1,6 juta orang. Sementara untuk di dalam kota Astana hanya 400 ribu orang saja.

Kazakhstan sangat ketat dalam menjaga konsep yang sudah mereka siapkan. Mereka sangat menjaga populasi maupun bangunan-bangunan di kawasan tersebut.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement